Abstract:
Mengingat bahwa ketika Hukum dibentuk oleh Manusia, dan dijalankan pula oleh Manusia, tidak ada satu produk Hukum yang sempurna yang dapat di buat oleh Manusia, Produk Hukum yang dibuat oleh Manusia pasti terdapat di dalamnya celah-celah yang dapat menimbulkan adanya suatu penyalahgunaan Pengaturan ini oleh para Aparat-Aparat penegak Hukum dalam ruang lingkup kewenangannya.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana jika ada dua sistem Pengaturan yang tujuannya itu sama, namun berbeda secara teknis dan aspek, bahkan aparat penegaknya pun berbeda. Apakah kedua sistem Pengaturan tersebut memang dibutuhkan di dalam Hukum Positif Indonesia atau tidak. Bahwa mengingat Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat). Dikatakan memiliki tujuan yang sama ini yang dimaksud adalah, bahwa kedua pengaturan ini memungkinkannya untuk dapat terhindarnya seseorang untuk dijatuhi pidana yang bersifat menyengsarakan. Selain berbeda aparat penegak, bahwa kedua pengaturan ini berbeda dalam kodifikasinya, pengaturan pertama adalah pengaturan Pemaafan Hakim/Rechterlijk Pardon yang diatur di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Pasal 60 (2), sedangkan pengaturan yang kedua adalah Pengaturan Syarat Penuntutan yang diatur di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) pada Pasal 42 butir (2) dan butir (3).
Sesuai dengan Judul Penelitian ini, akan dikaji lebih dalam mengenai Rechterlijk Pardon dan Syarat Penuntutan mulai dari Sejarah, Definisi, Akibat Hukum, dan bagaimana Implikasi Penerapan mengenai kedua Pengaturan tersebut, selanjutnya akan dilanjut lebih rinci dan jelas Pengaturan mana yang lebih cocok untuk diterapkan di dalam Hukum Positif Indonesia dengan melihat kenyataan pada Hukum Positif Indonesia, serta Pengaturan mana yang lebih cenderung dapat terjadinya penyalahgunaan oleh aparat-aparat penegak Hukum.