Abstract:
Penggunaan arbitrase sebagai metode alternatif penyelesaian sengketa semakin
marak digunakan di Indonesia dan di dunia internasional. Sayangnya, pengaturan
mengenai bentuk perjanjian arbitrase, yang merupakan salah satu pokok
permasalahan penting dalam arbitrase, tidak secara jelas diatur dalam UU No. 30
Tahun 1999, bahkan terkesan saling bertentangan. Beberapa pasal mengharuskan
bahwa perjanjian arbitrase dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani,
sedangkan pasal lain memungkinkan suatu perjanjian arbitrase untuk dibuat dalam
bentuk sarana komunikasi lain tanpa perlu ditandatangani. Oleh karena itu,
diperlukan interpretasi lebih lanjut dengan menggunakan metode yuridis normatif
dan perbandingan hukum terhadap beberapa instrumen hukum yang dikenal secara
internasional. Berdasarkan hasil analisa penulis, dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal
dalam UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur mengenai bentuk perjanjian
arbitrase seharusnya dimaknai sebagai alternatif atau pilihan, sehingga keduanya
dapat digunakan. Selain itu, diperoleh pula beberapa standar internasional
mengenai pengaturan tentang bentuk perjanjian arbitrase yang dapat diaplikasikan
pula dalam UU No. 30 Tahun 1999.