Abstract:
Hukum humaniter terdiri atas semua aturan hukum internasional yang dirancang
untuk mengatur perlakuan terhadap individu sipil atau militer, terluka atau aktif
dalam konflik bersenjata internasional. Hukum humaniter juga berusaha untuk
menetapkan batas-batas dalam melakukan serangan terhadap lawan yang turut serta
dalam suatu konflik. Akan tetapi, dalam kenyatannya konflik yang terjadi di antara
para pihak yang bertikai selalu diikuti dengan kejahatan-kejahatan lainnya yang
juga dilarang dalam berbagai instrumen-instrumen hukum internasional, salah satu
diantaranya adalah kejahatan yang berhungan dengan kekerasan seksual yang
dilakukan oleh prajurit-prajurit atau pemimpin pernag dan juga anak buahnya yang
ditujukan kepada orang-orang yag menjadi korban dalam suatu konflik tertentu,
khusunya perempuan dan anak-anak.
Namun dalam perkembangan terkini, Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) atau sering disebut ICC memutuskan secara lain
pada Kasus Bosco Ntaganda. Bosco Ntaganda merupakan wakil kepala Staff
Umum dari kelompok Force Patriotiques pour la Libération du Congo (FPLC),
bagian militer dari Union of Congolese Patriots (UCP) selama konflik bersenjata
pada tahun 2002-2003 di Ituri, Democratic Republic of Congo (DRC). ICC
memutus kasus ini dengan melakukan perluasan penerapan perlindungan terhadap
korban kejahatan perang pemerkosaan dan perbudakan seksual yang merupakan
tentara anak dari pasukannya sendiri yang direkrut secara paksa oleh Bosco
Ntaganda menjadi kelompok bersenjata terorganisir.
Akibatnya muncullah perdebatan tentang apakah pelaku yang melakukan kejahatan
pemerkosaan dan perbudakan seksual terhadap anggota militer di sisi yang sama
tetap dapat dihukum dan masuk ke dalam kejahatan perang seperti yang terdapat di
Pasal 8 Statuta Roma, mengingat Pasal 8 Statuta Roma tidak mengatur secara
eksplisit mengenai perlindungan terhadap kejahatan perang, khususnya kejahatan
yang berhubungan dengan kekerasan seksual.