Abstract:
Pada pasal 243 ayat (1) yang dimaskud dengan evaluasi adalah pengawasan Pemerintah Pusat kepada Raperda untuk dievaluasi melalui pemberian nomor register untuk disahkan. Namun dalam prakteknya, beragam permasalahan muncul dalam pelaksanaan kewenangan pengawasan pembentukan Perda. Benturan ketentuan Perda dengan peraturan perundang-undangan kerap terjadi. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Adanya Perda-Perda yang kontradiktif terhadap kepentingan memajukan dan memberikan
perlindungan HAM disebabkan selama ini peran dan tanggung jawab implementasi HAM di eraotonomi daerah seringkali tidak dipahami. Paradoks sistem otonomi daerah memang tak bisa dipungkiri. Di satu sisi, ia memberi manfaat yang luar biasa bagi proses percepatan pembangunan daerah. Namun di sisi lain, atas nama pembangunan dan peningkatan PAD, otonomi daerah mengandung sejumlah potensi ketidakadilan dan pelanggaran HAM. Salah satu penyebabnya adalah tingkat sensitivitas pembuat Perda, yakni DPRD dan kepala daerah terhadap penempatan perspektif HAM dan proses perancangan Perda, yang merupakan payung bagi penyelenggaraan otonomi daerah sangatlah rendah. Akibatnya, Perda-Perda di era otonomi daerah cenderung menjauh dari norma dan prinsip-prinsip HAM dan berpotensi mengeliminasi keadilan substansial di negara demokrasi yang berpihak pada pluralitas dan insklusivitas publik.
Permasalahan yang muncul dari Perda menuntut adanya upaya untuk memperkuat kewenangan Evaluasi Rancangan Perda yang selama ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Optimalisasi pengawasan atau Evaluasi Rancangan Perda semakin relevan dengan realita di berbagai daerah yang menunjukkan adanya dinamika dalam memproduksi suatu Perda. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut menggunakan metode yuridis normatif.