dc.description.abstract |
Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang memiliki salah satu akibat terhadap harta
kekayaan. Kedudukan harta benda dalam perkawinan dapat disimpangi oleh perjanjian
perkawinan, yang semula diatur dalam pasal 29 UU Perkawinan, kini telah mendapat pemaknaan
baru berdasarkan putusan mahkamah konstitusi nomor 69/puu-xiii/2015, dikarenakan adanya
perkawinan campur antara WNI dengan WNA, dimana WNI ingin membeli rumah susun, namun
dibatalkan sepihak oleh pihak pengembang karena tidak adanya perjanjian perkawinan.
Berdasarkan UUPA kepemilikan tanah dengan status hak milik hanya boleh dimiliki oleh WNI
saja. Sehingga dengan demikian mereka yang berkewarganegaraan asing tidak dapat mempunyai
hak milik atas tanah dan WNI yang menikah dengan WNA (tanpa Perjanjian Kawin) dipaksa
untuk tunduk pada ketentuan peraturan yang diperuntukkan bagi orang asing. Kini, perjanjian
perkawinan dapat dibuat kapan saja dan para pihak bebas untuk menentukan waktu mulai
berlakunya perjanjian perkawinan. Selain itu, perjanjian perkawinan dapat diubah dan dicabut.
Hal ini sebenarnya tidak dapat dilakukan karena terkait dengan harta bersama yang terikat
sehingga tidak dapat dipisahkan atau dibagi kecuali apabila perkawinan putus. Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi ini kerap menimbulkan banyak persoalan. Sehingga timbul rasa ingin tahu
Penulis mengapa Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat
(1) UUPA saja yang mana ketentuan dalam kedua pasal tersebut diubah menjadi Warga Negara
Asing yang melangsungkan perkawinan dengan seorang WNI juga dapat memiliki tanah dengan
status hak milik dan atau hak guna bangunan sehingga dengan diubahnya kedua pasal tersebut
menjadi tidak menimbulkan banyak persoalan. |
en_US |