Abstract:
Penelitian ini menganalisis mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No.
33/PUU-XIV/2016 mengenai kewenangan dari Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Persoalan yang timbul adalah dalam
pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa sistem hukum
pidana telah memberikan kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun Jaksa
Penuntut Umum yang mewakili negara untuk melakukan upaya hukum luar biasa
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan pertimbangan hakim
Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat
diajukan oleh Terpidana atau Ahli Warisnya.
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif, yang berarti
penelitian akan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan. Sumber utama dari penelitian ini adalah Kitab Undang – Undang
Hukum Acara Pidana, Putusan – Putusan Pengadilan, dan Surat Edaran Mahkamah
Agung yang relevan. Metode penulisan yuridis normatif juga melihat kepada konsepkonsep,
teori-teori hukum dan juga asas-asas hukum yang berlaku.
Hasil penelitian yang didapat adalah Mahkamah Konstitusi telah salah dalam
menganggap bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali dan upaya hukum Kasasi Demi
Kepentingan Hukum adalah upaya hukum yang sederajat. Perbedaan substatsi dari
kedua upaya hukum tersebut membuat keduanya tidak dapat disejajarkan. Sehingga
korban seharusnya diberikan juga hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan
Kembali. Hal tersebut agar memberikan jalan bagi semua orang untuk mencari
keadilan, sehingga keadilan tidak hanya dapat dicari atau didapat oleh sebagian orang
atau orang tertentu saja. Mengingat putusan hakim tidak luput dari kesalahan atau
kekhilafan.