Abstract:
Inkonsistensi suatu peraturan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum baik
dalam proses penegakan hukum, hak-hak tersangka, maupun perlindungan hukum
korban. Salah satu contohnya, inkonsistensi mengenai usia dewasa di Indonesia.
Status dewasa dapat diperoleh dengan kedewasaan murni dan kedewasaan lebih
cepat. Kedua hal ini mempunyai akibat hukum yang berbeda sebab, cara
mendapatkan kedewasannya juga berbeda. Adanya perbedaan ini bisa
menimbulkan multi tafsir antar aparat penegak hukum.
Pada prakteknya pernah ada suatu putusan di Pengadilan Negeri Sampang
dimana pelaku dituntut melakukan kekerasan terhadap anak, korbannya adalah
seseorang yang berusia 17 tahun dan pernah menikah. Dengan mendasarkan
tuntutannya pada pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, jaksa
menganggap korban masih anak-anak sementara hakim mengaggap bahwa
pengertian anak dalam pasal tersebut harus dikecualikan terhadap anak yang pernah
menikah. Sehingga pada putusannya hakim menganggap pelaku tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan terhadap anak. Putusan ini tentu
saja merugikan kepentingan perlindungan anak terutama terhadap korban
perdagangan orang.
Padahal pengertian anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak punya
rumusan yang sama dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang tetapi hakim dan jaksa punya interpretasi yang berbeda. Hal ini
dapat merugikan kepentingan perlindungan anak terutama korban TPPO yang
merupakan perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Maka dari
itu penulisan ini akan membahas mengenai pengertian usia dewasa menurut hukum
pidana dan kepastian penggunaan pasal anak terhadap korban perdagangan orang
yang pernah menikah.