Abstract:
Negara atas dasar kedaulatannya, memiliki kuasa untuk mengatur subyek hukum serta sumber daya alam yang berada di wilayahnya. Namun dalam kaitannya dengan hukum investasi internasional, apabila pengaturan tersebut berdampak terhadap hak atau manfaat aset investor asing, maka dapat dianggap sebagai ekspropriasi tidak langsung. Dalam konteks pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, melalui pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta peraturan pelaksananya, terdapat pembatasan ekspor mineral mentah dan kewajiban membangun smelter yang berlaku bagi pelaku usaha pertambangan. Apabila dikaitkan dengan pelaku usaha pertambangan yang menjalankan kegiatan berdasarkan Kontrak Karya, maka pemberlakuan kedua kebijakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai ekspropriasi terhadap Kontrak Karya tersebut. Hal ini dikarenakan Kontrak Karya merupakan perjanjian kerjasama antara pemerintah dengan pelaku usaha yang ditunjuk sebagai kontraktor pemerintah Indonesia, sehingga berdasarkan asas pacta sunt servanda maka pemerintah wajib mentaati ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak tersebut. Oleh karena itu masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah apakah kebijakan pemerintah berupa pemberlakuan pembatasan ekspor mineral mentah dan kewajiban membangun smelter dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang dapat digugat berdasarkan hukum internasional tentang ekspropriasi. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Yuridis Normatif dengan cara pengumpulan data berupa studi kepustakaan (library research).
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pembatasan ekspor mineral mentah dan kewajiban membangun smelter dapat dikualifikasikan sebagai ekspropriasi tidak langsung serta dapat digunakan investor asing untuk menggugat pemerintah Indonesia. Hal ini didasarkan pada pelaksanaan kedua kebijakan tersebut, dimana terdapat kewajiban bagi pemegang kontrak karya untuk beralih status menjadi IUP atau IUPK. Hal ini akan berimplikasi pada hilangnya hak yang telah disepakati pada Kontrak Karya, dikarenakan pada sistem izin tersebut terdapat pembatasan terhadap jumlah lahan yang dapat dieksplorasi dan dieksploitasi, pajak yang lebih tinggi, dan jangka waktu usaha yang lebih singkat. Selanjutnya terkait konsekuensi dari adanya ekspropriasi tidak langsung, maka perlu adanya kompensasi atas terjadinya ekspropriasi tersebut. Mengenai kompensasi tersebut umumnya menggunakan prinsip “hull formula” yang menyatakan yang menyatakan bahwa kompensasi dilakukan dengan segera, memadai, dan efektif (prompt, adequate and effective).