Abstract:
Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Perkawinan sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum , agama, dan kepercayaan masing-masing. Namun sering kali dalam praktiknya terjadi perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Untuk perkawinan yang demikian, undang-undang memperbolehkan adanya pembatalan perkawinan, yang diatur dalam BAB IV Pasal 23 – 28. Namun semakin dinamis dan kompleksnya kehidupan manusia, peraturan mengenai pembatalan perkawinan dirasa kurang memadai dalam beberapa kasus pembatalan perkawinan, seperti pada putusan Pengadilan Agama No. 202/Pdt.G/2014/PA.K.Kps, Dalam kasus tersebut Majelis Hakim menolak permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh penggugat terhadap perkawinan poligami suami penggugat (alm) dengan tergugat, apabila melihat pada kasus tersebut perkawinan poligami yang dilakukan oleh suami penggugat dengan tergugat tidak sesuai dengan syarat-syarat yang diberikan baik oleh Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam pertimbangannya Hakim berpendapat bahwa gugatan pembatalan perkawinan telah daluarsa dan karena kematian suami penggugat maka penggugat sudah tidak dapat mengajukan gugatan pembatalan dan karena itu pula, objek pembatalan perkawinan menjadi tidak ada. Namun penulis berpendapat lain, Majelis Hakim dalam memberikan pertimbangan tersebut telah keliru dan seharusnya dapat mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan tersebut