dc.description.abstract |
Tindak pidana di Indonesia semakin hari semakin kompleks dan sulit untuk dibongkar, hal ini secara tidak langsung mempengaruhi proses hukum acara pidana di Indonesia yang tidak dapat diselesaikan hanya melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Diperlukan elemen-elemen pendukung di luar KUHAP agar proses pembuktian di pengadilan dapat terus berjalan menghadapi kompleksitas tersebut. Salah satu upaya menghadapi permasalahan tersebut adalah dengan memunculkan seorang Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower).
Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) memegang peran yang sangat penting karena ia berada dalam lingkup internal suatu kasus. Mengingat pentingnya peran tersebut, maka Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) harus dilindungi dari kemungkinan pengancaman atau pembalasan. Berkaitan dengan hal tersebut, sejatinya terdapat regulasi yang secara tersirat mengatur perlindungan terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower), namun implementasi di Indonesia belum menunjukkan perlindungan terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) karena masih adanya miskoordinasi kewenangan antar lembaga dan aparat penegak hukum.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa ada permasalahan yang timbul karena belum adanya perspektif yang sama dalam memandang Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) di Indonesia, termasuk belum adanya konsep, sistem dan mekanisme perlindungan yang jelas. Dalam penulisan hukum berbentuk skripsi yang pendekatannya dilakukan melalui yuridis normatif ini, di dapati jawaban bahwa perlu adanya perubahan dalam aspek perlindungan Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) di Indonesia agar terbentuknya konsep, sistem dan mekanisme yang dimaksud. |
en_US |