Abstract:
Bahasa Indonesia adalah bahasa warga negara Indonesia. Bahasa yang dipergunakan dan disepakati dalam peristiwa pemuda ini menjadi pemersatu negara kita. Sebagai bukti otentik, dasar negara kita pun telah mencantumkan bahwa bahasa negara kita adalah bahasa Indonesia dalam Pasal 36 UUD 1945. Sebagai turunannya, dibentuklah UU 24/2009 untuk mengatur pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam keseharian, kita juga mengenal mengenai konsep perjanjian. Secara khusus, perjanjian juga pada dasarnya mempergunakan bahasa. Salah satu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini adalah Pasal 31 UU 24/2009 yang mewajibkan tiap perjanjian yang melibatkan subjek hukum Indonesia di atas harus dituliskan menggunakan bahasa Indonesia. Permasalahan yang timbul adalah pengaruh penggunaan istilah asing yang dapat memengaruhi keabsahan perjanjian, terutama mengenai syarat kausa yang tidak terlarang. Perjanjian yang melanggar kausa yang tidak terlarang menimbulkan akibat pada perjanjian batal demi hukum.
Disini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan dengan meneliti peraturan perundang-undangan terkait bahasa serta ditinjau dengan aturan mengenai keabsahan perjanjian. Berikut juga penulis meninjau dari unsur-unsur kebahasaannya berupa teori-teori wujud penggunaan bahasa, ambiguitas serta lainnya.
Berdasarkan permasalahan di atas, bagaimanapun bentuknya pada dasarnya perjanjian haruslah tetap menggunakan bahasa Indonesia. Baik itu secara keseluruhan maupun sebagian berupa istilah asing. Karena penggunaan bahasa Indonesia merupakan suatu kewajiban yang menjadi salah satu syarat sah dari perjanjian, kausa yang tidak dilarang. Namun apabila memang dalam keadaan yang sudah tidak memungkinkan bahasa tersebut dibuat dalam bahasa Indonesia, maka istilah asing tersebut dapat dipergunakan dengan catatan diberi penjelasan.
Adapun perjanjian tersebut dapat membuat perbedaan tafsir antara para pihak, maka perjanjian perlu ditafsir menurut peraturan perundang-undangan. Serta dalam rangka pencegahan, pengertian agar tidak kabur harus ditegaskan dalam perjanjian itu sendiri. Penegasan perlu dilakukan agar para pihak tidak memiliki pengertian yang berbeda diantara para pihak.