dc.description.abstract |
Pada dasarnya, UU kepabeanan memperlakukan semua barang yang
dimasukkan ke daerah pabean sebagai barang impor dan terutang bea masuk.
Namun, Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.04/2007,
terdapat fasilitas pembebasan bea masuk untuk barang keperluan pameran yang
kualitasnya sama saat diekspor dengan saat diimpor. Namun, belum ada pengaturan
mengenai pemberlakuan bea masuk terhadap karya seni rupa yang kualitasnya tidak
sama saat diekspor dengan saat diimpor kembali. Hal ini mengakibatkan adanya
kekosongan hukum serta ketidakadilan bagi seniman.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan
dilengkapi wawancara kepada pihak DJBC. Selanjutnya, dengan menggunakan
metode argumentum a contrario, dapat disimpulkan bahwa karya seni rupa yang
mengalami kualitasnya tidak sama tersebut tidak dapat diberikan fasilitas
pembebasan bea masuk, sehingga tetap diberikan bea masuk. Selain itu, diperlukan
juga adanya peraturan baru mengenai pemberlakuan bea masuk terhadap karya seni
rupa yang kualitasnya tidak sama saat diimpor kembali tersebut untuk mengisi
kekosongan hukum tersebut. Adanya peraturan baru tersebut dapat membuat
terselenggaranya kebijakan ekonomi kreatif, terwujudnya asas kepastian hukum,
serta terwujudnya asas keadilan.
Penulis pun menyarankan bahwa dengan adanya peraturan baru tersebut,
perlu disertakan lampiran-lampiran saat karya seni rupa yang kualitasnya tidak
sama saat diimpor kembali tersebut akan diekspor dan akan diimpor kembali.
Lampiran tersebut berupa Surat Permohonan Re-impor, surat dari pihak pengelola
pameran, serta foto dan video dokumentasi karya seni rupa tersebut. Selain itu,
perlu adanya publikasi mengenai peraturan baru tersebut melalui media massa serta
dengan adanya kunjungan dari pihak DJBC ke instansi-instansi yang berkaitan,
seperti Fakultas Seni Rupa dan Desain di beberapa perguruan tinggi. |
en_US |