dc.description.abstract |
Penelitian ini menganalisis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkaitan dengan ancaman sanksi pidana yang sama terhadap permufakatan jahat dan tindak pidana selesai. Persoalan yang kemudian timbul adalah ketika sudah ada suatu kesepakatan dan merujuk pada unsur Pasal 88 KUHP, yaitu merujuk kepada niat untuk melakukan kejahatan, kesepakatan atau niat untuk melakukan kejahatan belum tentu dilaksanakan dalam bentuk perbuatan konkrit, maka dalam permufakatan jahat hanya ada niat dengan mengadakan permufakatan jahat, sama sekali tidak ada perbuatan pelaksanaan, sehingga dalam kasus tindak pidana korupsi, permufakatan jahat bisa dijatuhkan sanksi pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana korupsi yang telah selesai melakukan tindak pidananya seperti yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder,. Sumber hukum primer dalam penelitian ini adalah KUHP dan Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sumber hukum sekunder terdiri dari buku-buku dan artikel-artikel tentang makar dan tindak pidana korupsi. Sumber hukum tersier terdiri dari kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah 1) Alasan mendasar untuk menjatuhkan pidana terhadap permufakatan jahat terbagi menjadi dua, yaitu pertama kejahatan tersebut termasuk dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dan yang kedua adalah sanksi pidana untuk permufakatan jahat juga dibenarkan oleh hukum dengan menggunakan doktrin delictum sui generis, yaitu doktrin yang mengatakan permufakatan jahat dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri. 2) Penjatuhan pidana yang sama terhadap permufakatan jahat pada tindak pidana korupsi yang selesai dapat dibenarkan. Namun dalam pelaksanaannya, terdapat kerancuan aparat penegak hukum dalam menafsirkan antara percobaan dengan permufakatan jahat itu sendiri. Oleh karena itu, perlu diadakan diklat atau pelatihan gabungan antar instansi, seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim pengadilan. Diklat tersebut dilakukan agar timbul satu pemahaman bersama tentang pelaksanaan ketentuan delik permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi. |
en_US |