Abstract:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya
disingkat UU Perkawinan) tidak mensyaratkan mengenai penyelesaian masalah
perceraian atau pembatalan perkawinan dengan terlebih dahulu diselesaikan menurut
agama serta kepercayaan masing-masing. Masalah tersebut tentunya dapat muncul
dalam agama Katolik yaitu mengenai pengaturan hukum apabila pasangan suami istri
yang beragama Katolik telah memiliki putusan perceraian yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Negeri, sedangkan di satu sisi suami istri tersebut telah memiliki putusan
pembatalan perkawinan yang dikeluarkan oleh pengadilan gereja. Persoalan di atas
menjadi masalah karena perceraian dengan pembatalan perkawinan memiliki perbedaan
di dalam aspek hukumnya baik dari pihak yang berhak mengajukan serta status
perkawinannya. Hal ini sering terjadi terhadap pasangan suami istri beragama Katolik di
Indonesia. Pasangan suami istri tersebut hanya mengurus masalah perkawinan
berdasarkan hukum negara saja, tanpa melibatkan hukum agama sehingga terjadi
kekeliruan dalam menyelesaikan masalah perkawinan.
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Hal ini dikarenakan sifat
dari penelitian ini adalah murni ilmiah, yang akan menjelaskan secara deskriptif analitis
mengenai pembatalan perkawinan menurut Hukum Kanonik dapat dijadikan dasar
alasan untuk melakukan pembatalan perkawinan menurut UU Perkawinan yang
tentunya ditinjau dari UU Perkawinan dan PP Perkawinan
Hasil pengkajian terhadap permasalahan ini ialah putusan perceraian yang
dilakukan oleh pasangan suami istri yang beragama Katolik di pengadilan negeri
seharusnya dapat dibatalkan karena tidak sesuai dengan yang diatur di dalam Kitab
Hukum Kanonik yang mana agama Katolik tidak mengenal perceraian. Dalam hal
melakukan pembatalan perceraian diatur di dalam Pasal 43 UU Administrasi
Kependudukan serta Pasal 44 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun
2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Dengan tidak adanya ketentuan (kekosongan hukum) mengenai pihak pemohon yang
dapat melakukan permohonan pembatalan perceraian, maka secara analogi hukum
selama belum ada ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut, pihak yang memiliki
kepentingan atas suatu putusan perceraian yang ingin dibatalkan dengan suatu alasan
tertentu dapat mengajukan permohonan pembatalan perceraian.
Selain itu, suatu putusan pembatalan perkawinan dari Pengadilan Gereja dapat
dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam melakukan pembatalan perkawinan menurut
UU Perkawinan. Selanjutnya, putusan pengadilan gereja mengenai pembatalan
perkawinan dimungkinkan hanya untuk digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara pembatalan perkawinan dan tidak dapat menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara gugatan perceraian karena agama
Katolik tidak mengenal istilah perceraian sehingga akan tetap ada gugatan perceraian
bagi pasangan suami istri yang beragama Katolik selama belum ada perubahan
konstruksi hukum di dalam UU Perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya yang
mana memungkinkan bagi lembaga keagamaan melakukan penyelesaian masalah
perkawinan bagi umatnya agar sesuai dengan UUD 1945, Pancasila, serta UU
Perkawinan.