Abstract:
Pembatalan perkawinan atau fasakh tidak dapat terjadi dengan sendirinya, namun harus melalui pengajuan ke Pengadilan oleh pihak-pihak yang berhak. Jaksa termasuk salah satu pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 196 K/AG/1994 tertanggal 15 November 1995 Jaksa dianggap sebagai pejabat yang tidak berwenang melakukan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan secara islam.
Metode Penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah metode yuridis normatif berdasarkan UU Perkawinan dan KHI. Metode yuridis normatif adalah penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Analisa dalam penulisan hukum ini menggunakan metode penemuan hukum dengan penafsiran hukum sistematis. Pada penafsiran sistematis, dilakukan dengan memberi arti atau makna isi suatu peraturan perundang-undangan berdasarkan tata urutan materi peraturan perundang-undangan.
Dalam Penulisan hukum ini, Putusan Mahkamah Agung Nomor 196 K/AG/1994 tertanggal 15 November 1995 telah bertentangan dengan Pasal 26 ayat (1) UU Perkawinan dan penafsiran hukum sistematis terhadap Pasal 23 UU Perkawinan jo. Pasal 73 KHI, serta Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975. Jaksa memiliki kedudukan sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk mengawasi pelaksanaan perkawinan dan mengajukan pembatalan perkawinan yang terbatas pada alasan Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Akibat hukum pembatalan perkawinan salah satunya berakibat pada kedudukan anak. Putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut pada kedudukan anak, anak tetap menjadi anak sah sehingga dalam pewarisan anak tersebut termasuk dalam ahli waris golongan I berdasarkan KUHPerdata sedangkan bagi yang beragama islam pembagian waris dilakukan dengan hukum waris islam berdasarkan KHI.