Abstract:
Tindak pidana kekerasan seksual non-fisik, atau sering kali dikenal dengan
sebutan “catcalling," merupakan bentuk kekerasan yang semakin mendapat
perhatian dalam ranah hukum di Indonesia. Definisi kekerasan seksual oleh
World Health Organization (WHO) dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022
tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan kerangka kerja untuk
memahami dan mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual. Berdasarkan
Undang-Undang tersebut, pelecehan seksual non-fisik termasuk dalam kategori
tindak pidana dengan sanksi pidana penjara hingga sembilan bulan dan/atau
denda hingga Rp10.000.000,00. Namun, dalam praktiknya, pemahaman
mengenai apa yang termasuk pelecehan seksual non-fisik masih belum jelas
dan sering kali menimbulkan multitafsir. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi hambatan dalam laporan dan pembuktian pelecehan seksual
non-fisik serta mengeksplorasi bagaimana praktik pengadilan menangani
kasus- kasus tersebut. Studi ini menganalisis kasus-kasus pelecehan seksual
non-fisik seperti catcalling yang sering terjadi namun sulit dibuktikan karena
kurangnya alat bukti seperti saksi atau bukti fisik. Data dari Komnas
Perempuan dan lembaga layanan menunjukkan dominasi kekerasan fisik
dalam laporan kasus, sementara pelecehan seksual non-fisik sering kali
terabaikan karena kesulitan dalam pembuktian. Metodologi penelitian ini
meliputi analisis terhadap hambatan dalam pembuktian kasus pelecehan
seksual non-fisik serta evaluasi terhadap praktik pengadilan berdasarkan
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan wawasan tentang tantangan dalam melaporkan
dan membuktikan pelecehan seksual non- fisik serta rekomendasi untuk
perbaikan sistem hukum dan penegakan hukum yang lebih efektif dalam
menangani kasus-kasus tersebut.