Abstract:
Penelitian ini mengkaji perubahan praktik pencatatan perkawinan antarumat berbeda agama dan kepercayaan di Indonesia setelah terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 (selanjutnya disingkat SEMA). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif untuk menganalisis konsep, teori, asas, serta peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perkawinan beda agama. Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang melindungi hak asasi manusia, memiliki pemerintahan berdasarkan undang-undang. dan memiliki peradilan administrasi untuk menangani perselisihan. Sebelum terbitnya SEMA, pencatatan perkawinan beda agama dimungkinkan melalui penetapan pengadilan, tetapi SEMA tersebut memberikan arahan tegas bagi hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Akibatnya, pasangan yang ingin mencatatkan perkawinan mereka menghadapi hambatan dalam aspek hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi pelanggaran hak asasi manusia. Dualisme hukum antara kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan arahan dari SEMA menciptakan tantangan bagi hakim dan pasangan beda agama dalam mencari solusi atas permasalahan secara hukum. SEMA ini juga meningkatkan kemungkinan pasangan menikah di luar negeri untuk menghindari pembatasan hukum di Indonesia. Meskipun SEMA tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang, pengaruhnya dalam suatu penetapan/putusan dalam proses pengadilan sangat signifikan. Akibat ke depannya, bagi masyarakat yang berupaya mencari keadilan atas keinginannya mencatatkan perkawinan beda agama menjadi lebih rumit dan tidak mungkin dilakukan di Indonesia.