Abstract:
Lahirnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran (“UUK dan PKPU”) ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Namun dalam dunia kepailitan dan PKPU dikejutkan dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA Nomor 3 Tahun 2023”) pada tanggal 29 Desember 2023. Permasalahan tersebut dapat dilihat dalam Rumusan Hukum Kamar Perdata Khusus huruf a nomor 2 pada SEMA Nomor 3 Tahun 2023 yang pada intinya menyatakan permohonan pengajuan pailit dan PKPU terhadap pengembang apartemen dan/atau rumah susun tidak dapat dibuktikan dengan sederhana sebagaimana Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU. Mengingat ketentuan SEMA merupakan peraturan yang bersifat kebijakan dalam bentuk edaran yang dibuat oleh Mahkamah Agung sebagai petunjuk dan arahan bagi badan peradilan dibawahnya, maka dari itu menimbulkan pertanyaan apakah SEMA Nomor 3 Tahun 2023 bertentangan dengan UUK dan PKPU sekaligus Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (?). Penelitian ini menelaah permasalahan tersebut dengan metode yuridis normatif. Adapun hasil analisis permasalahan menunjukkan Rumusan Kamar Perdata pada SEMA Nomor 3 Tahun 2023 tersebut bertentangan dengan UUK dan PKPU. Namun dalam sudut pandang Penulis lainnya, SEMA Nomor 3 Tahun 2023 melindungi terjadinya ketidakadilan bagi para pembeli unit apartemen dan/atau rumah susun, mengingat UUK dan PKPU tidak dapat menyelesaikan permasalahan utang piutang ini.