Abstract:
Perjanjian jual beli putus (sold flat) yang diatur dalam Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki ketimpangan antara produser musik dan pencipta. Produser musik yang membeli hak cipta atas karya milik pencipta dengan cara jual beli putus (sold flat) tanpa jangka waktu pengembalian menimbulkan ketidakadilan bagi pencipta, yang memiliki hak eksklusif berupa hak ekonomi dan hak moral atas ciptaannya. Hak ekonomi dapat dialihkan kepada pihak lain, namun tidak bersifat permanen, sedangkan hak moral melekat pada diri pencipta dan tidak dapat dialihkan. Pengaturan terkait jual beli putus (sold flat) dengan jangka waktu pengembalian bukanlah konsep baru, dan telah diadopsi oleh berbagai negara melalui implementasi dalam Undang-Undang Hak Cipta mereka dengan konsep Reversionary Rights. Sebelum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, belum ada pengaturan spesifik mengenai jual beli putus (sold flat). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta hanya mengatur peralihan hak ekonomi tanpa ketentuan spesifik. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengajuan permohonan pemohon atas Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang jual beli putus (sold flat) yaang dianggap Pemohon inkonstitusional dengan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI 1945, asas freedom of contract, dan lain-lain adalah tepat, sehingga kedudukan hak cipta pencipta terlindungi guna menciptakan keadilan sesuai dengan fungsi dan tujuan hukum. Sejalan dengan itu, penolakan permohonan pemohon atas keberlakuan Pasal 18, 30 dan 122 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta selaras dengan konsep Teori Hukum Alam sebagai prinsip-prinsip yang berasal dari alam, bersifat universal, dan didasarkan pada akal manusia melalui penalaran moral yang timbul dengan sendirinya.