Abstract:
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kehakiman independen yang berfungsi untuk
menegakkan peradilan dalam lingkup konstitusional. Independensi kekuasaan kehakiman
merupakan sebuah sikap yang menunjukkan sikap bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai
badan peradilan tidak memihak pihak manapun. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi harus bersifat netral serta objektif dan bebas dari kepentingan-kepentingan luar.
Pemeriksaan Mahkamah Konstitusi harus didasari oleh objektivitas yang ada dan bebas dari pengaruh lembaga eksekutif maupun legislatif. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya
penyalahgunaan wewenang oleh Mahkamah Konstitusi. Independensi Mahkamah
Konstitusi, kini kian menjadi permasalahan yang sering menjadi pertanyaan. Eksistensi
independensi Mahkamah Konstitusi kini dapat dipertanyakan melalui praktik nyatanya.
Pemberhentian hakim Aswanto oleh DPR merupakan salah satu sudut pandang permasalahan
Mahkamah Konstitusi terkait dengan independensinya sebagai lembaga dengan kekuasaan
kehakiman. Dengan adanya hal tersebut, kredibilitas Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
yang independen patut dipertanyakan. Ranah yudikatif yang seharusnya bersih dari
kepentingan-kepentingan luar, kini dapat dimasuki oleh kekuasaan lain yang dalam hal ini
adalah DPR. Berbagai paradigma serta teori hukum ketatanegaraan tidak dapat
membenarkan usulan DPR yang mengajukan pemberhentian di luar prosedural. Seharusnya
pemberhentian didasarkan atas permintaan Ketua MK kepada Presiden, dengan dilanjuti
penerbitan Keputusan Presiden. Dalam pemberhentian hakim konstitusi Aswanto, DPR
dianggap terlalu ikut campur dalam pelaksanaan urusan Mahkamah konstitusi. Intervensi
oleh DPR pada hakikatnya boleh dilaksanakan, tetapi intervensi yang dilakukan harus tetap pada batasan-batasan yang ada. Presiden sebagai lembaga eksekutif yang menerbitkan
keputusan seharusnya sudah mengetahui mekanisme pemberhentian hakim yang sesuai
dengan peraturan-perundang-undangan.