Abstract:
Justice collaborator merupakan suatu peranan yang sangat penting dalam memberantas tindak pidana tertentu yang dilakukan secara terorganisir. Tujuan utama dibutuhkan adanya justice collaborator adalah untuk membongkar kejahatan yang dilakukan secara terorganisir, terencana, dan tersembunyi. Di Indonesia justice collaborator diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Dalam pengaturan mengenai justice collaborator, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh terdakwa atau tersangka, salah satunya adalah terdakwa atau tersangka diharuskan bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang dilakukannya. Pengertian mengenai pelaku utama sendiri tidak pernah disebutkan dalam peraturan manapun, sehingga terjadi sebuah kekosongan hukum yang menciptakan ketidakpastian hukum. Dalam putusan-putusan pengadilan, hakim dalam menilai indikator pengkualifikasian bukan pelaku utama dalam sebuah tindak pidana, memiliki pandangannya masing-masing. Sehingga,kekosongan hukum atas definisi bukan pelaku utama dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang hanya mengincar timbal balik yang diberikan kepada justice collaborator dari aparat penegak hukum, bukan sebagaimana tujuan utama dibutuhkannya justice collaborator. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dibahas mengenai siapa saja pelaku-pelaku dalam tindak pidana yang dapat dianggap sebagai bukan pelaku utama berdasarkan dengan peraturan, definisi, filosofi serta putusan-putusan pengadilan. Penelitian ini akan menggunakan metode penulisan yuridis normatif.