Abstract:
Nekrofilia dilakukan oleh seseorang dengan menyetubuhi mayat yang
termasuk sebagai penyimpangan seksual. Nekrofilia dikategorikan sebagai
gangguan kepribadian dan perilaku dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa III. Nekrofilia tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Lama yang berlaku saat ini. Namun, tindakan persetubuhan dengan mayat
diatur dalam pasal 271 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru sebagai
tindakan memperlakukan jenazah secara tidak beradab. Namun, kondisi pelaku saat
melakukan tindakan tersebut tidak diketahui sehingga tidak diketahui apakah
pelaku dapat bertanggung jawab atau tidak. Pertanggungjawaban pidana yang
berkaitan dengan gangguan jiwa diatur dalam pasal 38 dan 39 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Baru. Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru
mengatur tentang disabilitas mental. Sedangkan, pasal 39 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Baru mengatur tentang disabilitas mental dalam keadaan
kekambuhan akut yang disertai dengan gambaran psikotik. Dengan adanya
permasalahan tersebut, Penulis melakukan pembahasan dengan membuat 2
pertanyaan yuridis yaitu apakah perbuatan nekrofilia termasuk sebagai disabilitas
mental yang diatur dalam pasal 38 dan 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Baru dan apakah pelaku nekrofilia seharusnya dijatuhi pidana.
Atas kedua pertanyaan yuridis tersebut, Penulis telah menguraikan
jawabannya dalam Bab IV dan menyimpulkannya dalam Bab V. Jawaban atas
pertanyaan yuridis yang pertama ialah pelaku nekrofilia terbukti memiliki kondisi
mental (psikis) yang tidak stabil sehingga pelaku tidak sadar saat melakukan
persetubuhan dengan mayat. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku secara
sengaja, namun tidak adanya kesadaran dalam diri pelaku menyebabkan pelaku
berperilaku sesuai dengan emosionalnya dibandingkan menggunakan pikirannya.
Kemudian, jawaban atas pertanyaan yuridis yang kedua ialah pelaku nekrofilia
seharusnya tidak dijatuhi pidana atas ketidaksadaran pelaku saat melakukan
persetubuhan dengan mayat. Namun, pelaku tetap dapat dikenai tindakan-tindakan
yang diatur dalam pasal 103 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru.
Namun, kemampuan pelaku dalam hal bertanggung jawab pada akhirnya
ditentukan oleh hakim berdasarkan analisa ahli kejiwaan mengenai kondisi psikis
pelaku yang bersangkutan.