Abstract:
Perjanjian penanaman modal adalah sebuah perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mengatur pelaksanaan perdagangan dan kegiatan penanaman modal antar negara-negara dalam perjanjian tersebut. Bentuk-bentuk perjanjian penanaman modal tersebut meliputi bilateral investment treaties (“BIT”), Regional Comprehensive Partnership Agreement (“RCEP”), dan Comprehensive Economic Partnership Agreement (“CEPA”). Perjanjian-perjanjian tersebut turut mengatur mengenai penyelesaian sengketa antara pihak yang berada dalam perjanjian dengan investor yang berada di salah satu negara pihak. Metode yang paling umum digunakan dalam penyelesaian sengketa adalah arbitrase dan salah satu syarat untuk melaksanakan sebuah proses arbitrase adalah melalui persetujuan kedua belah pihak atau yang disebut sebagai consent. Pada umumnya, terdapat dua macam pemberian consent, yaitu melalui pemberian express consent atau future consent yang menggunakan two-step procedure. Negara-negara seperti Inggris dan Singapura telah secara konsisten menggunakan metode pemberian consent menggunakan express consent yang dituangkan dalam perjanjian penanaman modalnya, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum bagi para investor. Namun, berbeda dengan Indonesia yang hinggi menggunakan kedua metode tersebut.. Penggunaan metode pemberian consent yang berbeda-beda tersebut bertolak belakang dengan keinginan Indonesia yang mengingingkan two–step procedure untuk semua perjanjian penanaman modal. Oleh karena itu, penulisan hukum ini akan menganalisis apakah memungkinkan untuk Indonesia menggunakan two-step procedure sebagai dasar pemberian consent bagi semua perjanjian penanaman modal lainnya serta membahas apa konsekuensi bagi Indonesia dengan menggunakan two-step procedure tersebut.