Abstract:
Nama domain adalah sebuah nama untuk menyederhanakan alamat IP dimana
penggunaanya berkembang menjadi identitas dalam bisnis yang mempunyai
keterkaitan dengan nama merek, hal ini memunculkan sebuah penggunaan merek
untuk nama domain yang dapat menimbulkan pelanggaran hak merek yaitu adalah
tindakan Cybersquatting, secara definisi merupakan sebuah tindakan pendaftaran,
penyerobotan atau penggunaan nama domain tanpa seizin dari pemiliknya yang
didasari dengan itikad buruk.. Masalah dalam penelitian ini mengkaji
bagaimanakah kriteria dari sebuah tindakan Cybersquatting, bagaimana
perlindungan UU Merek jika terjadi tindakan Cybersquatting dan melihat
pertanggungjawaban yang dapat diberikan kepada cybersquatter ini. Penelitian ini
menggunakan yuridis-normatif. Dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa untuk
dikatakan sebagai tindakan Cybersquatting diperlukan unsur-unsur yang harus
dipenuhi, unsur tersebut bisa dilihat di dalam UDRP, ACPA dan untuk di
pengaturan bisa dilihat juga di dalam Pasal 23 UU ITE meksipun belum diatur
secara baik, kemudian tindakan ini melanggar Pasal 21 ayat 1 huruf a, Pasal 21 ayat
1 huruf b dan c, dan melanggar pasal 21 ayat 2 huruf a, UU Merek juga dapat
digunakan untuk melihat dari unsur-unsur tindakan Cybersquatting yaitu melalui
Pasal 21 UU Merek, namun pengaturanya jauh lebih sempit dibanding dengan UU
ITE. Kemudian mengenai pertanggungjawaban UU Merek menyediakan gugatan
pidana, perdata dan penyelesaian alternatif, namun untuk pidana dan perdata hanya
bisa dikenakan pada Cybersquatting yang barang atau jasanya sejenis dan litigasi
UU Merek bersifat teritorial, oleh karena keterbatasan itu lebih baik menggunakan
penyelesaian alternatif yang lebih menghemat waktu dan biaya, tetapi jika
penyelesaian alternatif tidak menyelesaikan sengketa dan tetap ingin melalui litigasi
maka bisa menggunakan Pasal 38 UU ITE atau melalui 1365 KUHPerdata.