Abstract:
Presiden selaku kepala Negara memiliki suatu hak prerogatif yang
diamanatkan oleh Negara melalui konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu
Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu hak
prerogatif yang dimiliki Presiden adalah berupa pemberian grasi. Grasi
merupakan suatu pengampunan yang diberikanoleh Presiden kepada seseorang
terpidana, di mana pengampunan tersebut dapat berupa menghapus seluruh,
sebagian, atau juga mengubah sifat atau juga bentuk hukuman yang telah
dijatuhkan. Grasi hanya dapat diajukan terhadap putusan pidana mati, pidana
seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun serta grasi hanya
dapat diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam
pemberian grasi sejatinya tidak diatur mengenai kriteria apa saja yang dapat
digunakan untuk menjadi alasan Presiden dalam memberikan grasi.
Secara normatif, dalam pemberian grasi tidak terdapat ketentuan mengenai
jenis tindak pidana yang dapat ataupun tidak dapat diajukan grasi. Dengan kata
lain bahwa semua tindak pidana dapat diajukan grasi selama ketentuan mengenai
jenis pidana yang diputuskan terhadap terpidana merupakan pidana mati, pidana
seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun dan putusan
tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan ini berlaku pula pada terpidana
kasus korupsi. Terpidana kasus korupsi kerapkali diberikan suatu pengampunan
oleh Presiden berupa grasi dan hal tersebut sejatinya tidak tepat mengingat
dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi merupakan dampak yang
masif. Dengan adanya penelitian ini diharapkan bahwa terhadap terpidana kasus
korupsi, sejatinya tidaklah tepat apabila diberikan sebuah pengampunan yang
dalam hal ini adalah berupa grasi.