Penerapan ambang batas dalam pengajuan pembatalan hasil pemilihan Kepala Daerah dalam Pasal 158 Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dikaitkan dengan penerobosan hukum dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi ditinjau berdasarkan perspektif hak asasi manusia

Show simple item record

dc.contributor.advisor Soetoprawiro, Koerniatmanto
dc.contributor.author Setiawan, Axsel James
dc.date.accessioned 2022-12-21T06:36:59Z
dc.date.available 2022-12-21T06:36:59Z
dc.date.issued 2020
dc.identifier.other skp41703
dc.identifier.uri http://hdl.handle.net/123456789/13982
dc.description 4672 - FH en_US
dc.description.abstract Pilkada serentak mulai diselenggarakan pada tahun 2015 dan berlanjut pada tahun 2017, terakhir Pilkada serentak dilaksanakan pada tahun 2018. Pelaksanaan Pilkada serentak berdampak terhadap mekanisme penyelesaian sengketa hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Pembentuk undang-undang mengamanatkan kepada MK agar memutus sengketa Pilkada kurang dari 45 (empat puluh lima ) hari kerja. Dengan waktu yang singkat dan melihat potensi akan banyaknya timbul sengketa Pilkada maka pembentuk undang-undang mengatur dalam pasal 158 UU Pilkada mengenai ambang batas pengajuan permohonan sengketa Pilkada di MK. Pembatasan tersebut dibuat kedalam angka-angka yang didasarkan pada selisih perolehan suara antar calon kepala daerah yang disesuaikan dengan jumlah penduduk tempat kontestasi Pilkada diselenggarakan, yakni antara 0,5%hingga 2% dari jumlah pemilih sah. Aturan tersebut dirasa tidak mencerminkan keadilan bagi para pencari keadlian khususnya para calon kepala daerah. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengujian materil UU Pilkada terkait pasal ambang batas ke MK melalui Putusan Nomor 52/PUU-XIII/2015. Namun MK menyatakan bahwa pengaturan mengenai ambang batas adalah konstitusional dan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang. MK juga menilai bahwa ketentuang ambang batas berfungsi sebagai rekayasa sosial agar masyarakat menempuh pranata dan lembaga yang disediakan secara optimal sebelum mengajukan gugatan ke MK. Dalam penulisan ini melihat masalah ambang batas pada pasal 158 menimbulkan permasalahan dikarenakan terdapat beberapa putusan MK yang mengesampingkan ambang batas terkait sengketa hasil calon kepala daerah. en_US
dc.language.iso Indonesia en_US
dc.publisher Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum - UNPAR en_US
dc.subject Ambang Batas en_US
dc.subject Hak Asasi Manusia en_US
dc.subject Pemilihan Kepala Daerah en_US
dc.title Penerapan ambang batas dalam pengajuan pembatalan hasil pemilihan Kepala Daerah dalam Pasal 158 Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dikaitkan dengan penerobosan hukum dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi ditinjau berdasarkan perspektif hak asasi manusia en_US
dc.type Undergraduate Theses en_US
dc.identifier.nim/npm NPM2016200192
dc.identifier.nidn/nidk NIDN0425025301
dc.identifier.kodeprodi KODEPRODI605#Ilmu Hukum


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search UNPAR-IR


Advanced Search

Browse

My Account