Abstract:
Penelitian ini akan membahas tentang Pasal 8 ayat (1) serta ayat (2) Peraturan Menteri
Pertanian Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2019 tentang Pemasukan Ternak
Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Negeri Republik Indonesia, yakni. Pasal 8 ayat (1),
yang menyatakan “Pelaku Usaha Peternakan, Koperasi Peternak, dan Kelompok Peternak
yang melakukan Pemasukan Bakalan wajib memasukkan Indukan sebanyak 5% (lima
persen) dari setiap Rekomendasi”, serta ayat (2) yang menyatakan “Indukan sebanyak 5%
(lima persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikembangbiakkan” terhadap
swasembada daging sapi nasional.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian
yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan
maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian menuju pada
identifikasi (problem-identification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian
masalah (problem-solution). Sumber data primer disini adalah data yang diperoleh
langsung dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian
Pertanianian, sedangkan pada data sekunder disini adalah data yang bersumber dari
kepustakaan. Data sekunder didapatkan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan
hal-hal yang bersifat teoritis, yang berasal dari literatul, jurnal maupun data resmi yang
dikeluarkan pemerintah, yang berkaitan dengan Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2019 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam
Wilayah Negeri Republik Indonesia.
Dari penelitian ini dapat ditemukan bahwa kebijakan pada Pasal 8 ayat (1) serta ayat (2)
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2019 yang diharapkan
untuk memenuhi target swasembada nasional sesuai Program Swasembada Daging Sapi
(PSDS), pada kenyataannya sulit dilaksanakan oleh pelaku usaha yang berkaitan. Hal ini
dikarenakan kebijakan yang tertera pada Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai wajib
impor sapi indukan dengan rasio 5% atau 1:20 dari total kuota impor sapi bakalan dinilai
terlalu memberatkan pelaku usaha yang melakukan impor sapi bakalan dalam
pelaksanaan secara finansial maupun teknis, sehingga peraturan ini tidak dapat mencapai
tujuannya . Selain itu ditemukan juga praktik-praktik yang bertentangan dengan tujuan
kebijakan ini seperti pemotongan sapi betina produktif yang menghambat peningkatan
produksi daging sapi dan populasi sapi lokal.