Abstract:
Indonesia merupakan negara maritim yang berbentuk kepulauan (archipelagic state) karena hampir ¾ (tiga perempat) luas wilayah Indonesia adalah lautan. Bagi Indonesia, laut merupakan pusat geostrategic yang berpotensi mempersatukan dan juga berpotensi menjadi sumber konflik antardaerah/negara. Hal ini menyebabkan Indonesia perlu mengerahkan pertahanan dan keamanan maritim sebagai penegak hukum dan kedaulatan dari berbagai ancaman yang timbul di laut, seperti sea piracy and armed robbery, illegal fishing, illegal logging, illegal mining, kecelakaan kapal, hingga transshipment. Laut juga menjadi jalur penyelundupan bahan kebutuhan pokok, senjata, narkoba, human trafficking, people smuggling, dan jalur lintas teroris. Sebagai upaya penegakan hukum dan keamanan di laut, telah diatur sebanyak 24 (dua puluh empat) undang-undang dan 13 (tiga belas) lembaga penegak hukum. Dari jumlah tersebut terdapat 6 (enam) lembaga yang mempunyai satuan tugas patroli di laut. Ke-enam lembaga tersebut melaksanakan patroli secara sektoral sesuai dengan kewenangan masing-masing. Banyaknya lembaga berwenang di wilayah laut Indonesia yang belum terkoordinir dengan baik, bahkan saling tumpang tindih. Sebagai upaya untuk memerangi tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum di laut, dibentuklah suatu Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Karena masih memiliki banyak kekurangan lalu dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan disempurnakanlah menjadi Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang bersifat Single Agency Multi Tasks. Dengan dibentuknya Undang-Undang tersebut tidak menghapus kewenangan dari kementerian/ lembaga sebelumnya, sehingga tumpang tindih kewenangan ini masih terus berlangsung sampai saat ini. Maka dari itu dalam tulisan ini akan dibahas mengenai tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di zona maritim Indonesia.