Abstract:
Sektor pertanian dan isu lingkungan dalam perdagangan kelapa sawit telah
menyita perhatian khusus bagi negara maju dan negara berkembang, karena selain
pembahasannya yang terlihat kompleks juga bersifat politis. Adanya perbedaan
kepentingan dan cara pandang dalam menghadapi isu lingkungan menyebabkan
lahirnya suatu permasalah baru dalam perdagangan internasional. Kebijakan
lingkungan Uni Eropa sebagai upayanya untuk menyelamatkan bumi dari perubahan
iklim menempatkan posisi dilema bagi Indonesia yang tidak hanya sedang berjuang
menghadapi isu lingkungan, juga dikhawatirkan akan membawa dampak negatif
terhadap pembangunan sosial dan ekonomi di negaranya.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Uni Eropa untuk melindungi
lingkungan adalah dengan mewujudkan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan
melalui eco-labelling. Pengaturan umum mengenai pembentukan dan penerapan
skema eco-labelling di Uni Eropa saat ini diatur dalam Regulation No 66/2010/EC
on the EU Ecolabel. Eco-label Uni Eropa juga mencakup sejumlah kriteria dan
persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu melalui suatu mekanisme khusus yang telah
ditetapkan dalam kebijakan lingkungan lainnya agar produk tersebut dapat
diperdagangkan dalam pasarnya. Directive 2018/2001/EU dan Delegated Regulation
2019/807/EU merupakan mekanisme khusus terkait kebijakan Uni Eropa terbarunya
untuk sektor energy yang memiliki keterkaitan dengan kelapa sawit, karena salah
satu isinya mengatur mengenai standar lingkungan dan kriteria minyak nabati yang
dihasilkan dari tanaman pangan dan pakan. Ketatnya penetapan standar lingkungan
dan kriteria yang harus dipenuhi telah menyebabkan hambatan dalam ekspor kelapa
sawit Indonesia ke kawasan Uni Eropa.
Berdasarkan kerangka hukum perdagangan internasional pada dasarnya
mengakui hak setiap negara untuk menerapkan hambatan perdagangan di
kawasannya, salah satunya yaitu berkaitan dengan isu proteksi lingkungan. Technical
Barrier to Trade Agreement (TBT Agreement) memiliki peran penting dalam
mengurangi hambatan teknis yang dapat mempengaruhi perdagangan internasional dan secara khusus menegaskan bahwa setiap negara anggota World Trade
Organization (WTO) mempunyai hak untuk memberlakukan hambatan perdagangan
berupa pemberlakuan regulasi teknis, standar bagi suatu produk, dan prosedur
penilaian kesesuaian sesuai dengan ukuran nasionalnya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis
normatif dan bersifat deskriptif analitis. Dasar hukum yang penulis gunakan dalam
menyusun penelitian ini adalah dasar hukum yang mengikat dalam lingkup hukum
internasional dan hukum yang berlaku di Uni Eropa yang berkaitan dengan objek
penelitian, seperti General Agreement Tariff on Trade 1994; Technical Barrier to
Trade Agreement; Regulation No 66/2010/EC; Directive 2018/2001/EU; Delegated
Regulation 2019/807/EU. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pada dasarnya
tindakan eco-labelling oleh suatu negara dapat dibenarkan menurut hukum WTO.
Akan tetapi, dalam penerapan eco-labelling oleh Uni Eropa terhadap perdagangan
kelapa sawit dan penolakan produk kelapa sawit Indonesia karena tidak memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan merupakan suatu bentuk hambatan dalam perdagangan
internasional yang berlebihan dan merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan
karena dilakukan secara bertentangan dengan prinsip-prinsip utama dan ketentuan
yang diatur oleh TBT Agreement.