Abstract:
Anak merupakan bagian dari generasi muda suatu bangsa yang memiliki potensi
untuk memajukan bangsa, namun perkembangan pergaulan anak saat ini sangat
memprihatinkan. Terbukti dengan banyaknya anak-anak yang banyak tindak
pidana. Anak sebagai pelaku tindak pidana harus diperlakukan secara manusiawi
untuk kepentingan terbaik bagi anak untuk mewujudkan pertumbuhan dan
memberikan perkembangan fisik, mental dan sosial. Negara dan Undang-Undang
wajib memberikan perlindungan hukum yang berlandaskan hak-hak anak. Hal
tersebut merupakan dampak dari ikutnya Indonesia meratifikasi Konvensi Hak
Anak, yang mana adalah satu prinsip dari konvensi tersebut adalah Kepentingan
Terbaik Bagi Anak. Asas kepentingan terbaik bagi anak ini mengingatkan kepada
semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam
pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang
dewasa, apalagi berpusat pada kepentingan orang dewasa.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas kepentingan terbaik bagi anak
adalah segala bentuk pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Penerapan Asas ini dengan
maksud untuk berupaya agar anak terhindar dari stigma (label jahat) dan
menghindari efek negatif proses peradilan terhadap anak. Namun penerapan prinsip
kepentingan terbaik bagi anak ini menjadi masalah ketika dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pidana penjara
terhadap anak merupakan bentuk pidana yang sangat berat bagi anak. pidana
penjara dapat memberikan stigma negatif pada seseorang yang pernah dijatuhi
pidana. Stigma buruk terhadap anak akan menimbulkan perasaan berupa hilangnya
kepercayaan diri bagi anak. Sehingga penerapan pidana penjara merupakan bentuk
penyimpangan dari asas kepentingan terbaik bagi anak oleh karena itu aparat
penegak hukum haruslah meninjau ulang penerapan pidana penjara terhadap anak.