Abstract:
Indonesia adalah negara hukum, sebagai negara hukum terdapat konsekuensi
dalam menjalankan segala kehidupan bernegara dan dalam melaksanakan suatu
tindakan apapun wajib berlandaskan hukum yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Seperti halnya dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak kepolisan
dalam mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang
suatu peristiwa tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Dilakukannya
serangkaian tindakan tersebut, merupakan proses pembuktian dalam menemukan
kebenaran materiil. Selanjutnya, diperlukannya keyakinan hakim dengan sekurangkurangnya
dua alat bukti sah untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang untuk
menemukan kebenaran materiil.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel dihadikan
saksi verbalisan (Jubirin Ginting,S.H. dan Suhartono, S.H.) yang merupakan penyidik
untuk memberikan kesaksiannya mengenai keterangan terkait proses penyidikan pada
saat Andro dan Benges selaku terdakwa memberikan keterangan di BAP. Kesaksian saksi
verbalisan tersebut dimintakan karena adanya pencabutan keterangan BAP oleh para
terdakwa yang mengaku adanya perlakuan kekerasan dan paksaan kepadanya.
Permasalahannya bagaimana kedudukan dan kekuatan dari saksi verbalisan tersebut
jika mengacu KUHAP dan apa konsekuensi terhadap Institusi Polri atas perbuatan dari
saksi verbalisan yang juga merangkap sebagai penyidik tersebut berdasarkan KUHP
(Hukum Pidana) dan Kode Etik Profesi (Hukum Administratif). Untuk menjawab
permasalahan tersebut penulis menggunakan penelusuran hukum primer seperti halnya
menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 2 Taahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan Pemeritah
Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik
Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 65/PUU-VIII/2010, Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Adapun
didukung dengan penelusuran hukum sekunder seperti buku, jurnal, artikel. Pengambilan
kesimpulan dilakukan menggunakan logika deduksi.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, saksi verbalisan (Jubirin Ginting, S.H. dan
Suhartono, S.H.) memiliki kedudukan sebagai petunjuk dan berkekuatan hukum bebas
serta tidak mengikat. Sehingga pada putusan pertama Andro (Terdakwa I) dan Benges
(Terdakwa II) dinyatakan terbukti bersalah, dan pada putusan banding dinyatakan bebas
karena kurangnya alat bukti. Adapun konsekuensi Hukum Pidana dan Hukum
Administratif terhadap Institusi Polri sebagai lembaga tidak ada yang mengatur secara
jelas, sehingga tidak ada konsekuensi apapun terhadap institusi polri atas perbuatan dari
Jubirin Ginting dan Suhartono sebagai salah satu anggota polri. Sehingga, para saksi
verbalisan bertanggung jawab secara individu atas perbuatannya yang dilakukan semasa
proses penyidikan