Abstract:
Hak prerogatif Presiden Republik Indonesia sejatinya adalah hak khusus
yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Namun pada prakteknya, lembaga
yudikatif dapat melakukan intervensi secara tidak langsung kepada sesuatu yang
merupakan hak prerogatif dari Presiden. Dimana Presiden dalam hal memberikan
grasi dan rehabilitasi kepada seseorang terpidana haruslah dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian lembaga legislatif juga dapat
melakukan intervensi terhadap sesuatu yang merupakan hak prerogatif presiden,
yaitu dalam hal mengangkat Kapolri dan Panglima TNI. Kemudian
pertanggungjawaban yuridis Presiden diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi ‘Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.’ Belum ada peraturan yang secara
spesifik mengatur sampai sejauh mana Presiden harus bertanggung-jawab secara
hukum atas tindakannya, terlebih yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
hukum dari penggunaan hak prerogatif Presiden yang tidak dapat dicampuri oleh
lembaga negara lain, dimana hak-hak prerogatif tersebut haruslah disertai dengan
pertanggungjawaban hukum yang jelas, sehingga meminimalisir penyalahgunaan
hak prerogatif oleh Presiden.