Tinjauan yuridis terhadap keabsahan keterangan saksi melalui teleconference (persidangan perkara perdata) pasca terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik

Show simple item record

dc.contributor.advisor Waluyo, Bernadette M.
dc.contributor.author Christabel, Yohanna
dc.date.accessioned 2022-07-12T01:37:34Z
dc.date.available 2022-07-12T01:37:34Z
dc.date.issued 2021
dc.identifier.other skp41787
dc.identifier.uri http://hdl.handle.net/123456789/13102
dc.description 4760 - FH en_US
dc.description.abstract Pembuktian merupakan salah satu tahap dalam proses persidangan perkara perdata yang betujuan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil para pihak dengan mengajukan alat bukti di persidangan. Salah satu alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia adalah saksi. Dalam ketentuan Pasal 144 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), pada intinya mengatur bahwa pemeriksaan saksi harus dilakukan dengan cara saksi hadir secara fisik ke persidangan. Namun, terdapat ketentuan lain yang bertentangan terkait pemeriksaan saksi dalam persidangan perkara perdata tersebut. Dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik (PERMA 1/2019) mengatur bahwa pemeriksaan saksi dapat dilakukan melalui audio visual atau teleconference. Dengan adanya pertentangan tersebut, maka timbul permasalahan mengenai keabsahan keterangan saksi melalui teleconference dalam persidangan perkara perdata pasca terbitnya PERMA 1/2019. Berdasarkan analisis dan hasil penelitian, pemeriksaan keterangan saksi yang dilakukan melalui teleconference tidaklah sah sebagai alat bukti saksi di persidangan perkara perdata. Hal ini terlihat dengan tidak terpenuhinya salah satu syarat formil alat bukti saksi dalam hukum acara perdata di Indonesia yang mengharuskan keterangan saksi diberikan atau disampaikan di depan sidang pengadilan. Selain itu, asas peraturan perundang-undangan lex superior derogate legi inferiori mengatur bahwa peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya lebih tinggi yang mengatur materi normatif yang sama. Apabila ditemukan pertentangan, maka yang berlaku adalah peraturan yang memiliki tingkat lebih tinggi. Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, Peraturan Mahkamah Agung memiliki tingkat yang lebih rendah daripada HIR. Dengan demikian, ketentuan pemeriksaan keterangan saksi melalui teleconference yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) PERMA 1/2019 tidak sah sebagai alat bukti saksi. en_US
dc.language.iso Indonesia en_US
dc.publisher Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum - UNPAR en_US
dc.subject Pembuktian en_US
dc.subject Keterangan saksi en_US
dc.subject Teleconference en_US
dc.subject Herzien Inlandsch Reglement en_US
dc.subject Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik en_US
dc.subject Lex Superior Derogate Legi Inferiori en_US
dc.title Tinjauan yuridis terhadap keabsahan keterangan saksi melalui teleconference (persidangan perkara perdata) pasca terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik en_US
dc.type Undergraduate Theses en_US
dc.identifier.nim/npm NPM2017200197
dc.identifier.nidn/nidk NIDN0401085801
dc.identifier.kodeprodi KODEPRODI605#Ilmu Hukum


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search UNPAR-IR


Advanced Search

Browse

My Account