Abstract:
Pada pertengahan Feburari 2020 Indonesia dikejutkan dengan kabar bahwa fighter ISIS
berkewarganegaraan Indonesia berkeinginan untuk kembali ke Indonesia setelah ISIS
mengalami banyak kekalahan. Atas berita ini, Pemerintah Indonesia telah menyatakan
sikap bahwa mereka tidak akan memulangkan para fighter ISIS ke Indonesia dengan
alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban nasional. Ternyata penolakan Indonesia
menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. Sikap pro pemerintah didasari oleh
alasan yang sama yaitu untuk menjaga kemanan dan ketertiban nasional sedangkan alasan
kontra pemerintah yaitu bahwa Pemerintah Indonesia telah melanggar HAM dengan tidak
memulangkan para fighter ISIS ke Indonesia sebab para fighter ISIS masih memiliki
status Kewarganegaraan Indonesia. Dari penjabaran di atas dapat diketahui bahwa
permasalahan hukum dalam penelitian ini yaitu apakah penolakan kembalinya fighter
ISIS asal Indonesia merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Apakah
dimungkinkan bagi fighter ISIS untuk mendapatkan kembali status kewarganegaraan
Indonesia, dan Apa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi orang tanpa
kewarganegaraan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian normatif terhadap instrumen
hukum hak asasi manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan instrumen hukum kewarganegaraan sebagimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Berdasarkan analisis terhadap rumusan masalah, diketahui bahwa 1) Indonesia
tidak melakukan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia karena tindakan penolakan itu
sesuai dengan proportionality principle serta sesuai dengan prinsip turunannya yaitu
adequacy, necessity, dan proportionality stricto sensu karena lebih memberikan lebih
banyak keuntungan bagi Indonesia. Para fighter ISIS tersebut juga bukan subjek yang
tunduk pada yurisdiksi Indonesia karena Indonesia tidak mempunyai effective control atas
tindakan para fighter ISIS dan para fighter ISIS sudah bukan lagi WNI. Selain itu,
pemenuhan hak para fighter ISIS tidak hanya menjadi kewajiban Indonesia semata, tapi
juga Negara Pihak dari ICCPR maupun ICESCR; 2) Dengan kondisi yang ada saat ini,
tidak ada kemungkinan bagi para fighter ISIS untuk mendapatkan kembali Status
Kewarganegaraan Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dalam
Pasal 9 huruf b dan g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia. Peraturan mengenai pewarganegaraan kembali perlu diartikan
sebagai pembatasan Hak Asasi Manusia yang bertujuan untuk menjaga kesusilaan,
ketertiban umum, dan keamanan nasional; 3) Kaidah internasional yang mengatur
mengenai kondisi stateless saat ini—yaitu Stateless Convention 1954 dan Stateless
Convention 1961—tidak mengatur mengenai perlindungan dan pemberian status
kewarganegaan kepada mereka yang stateless karena ikut serta serta melakukan tindakan
terorisme. Mengenai hal ini perlu adanya kerja sama antar negara mengingat
permasalahan terorisme bukanlah kewajiban satu negara saja akan tetapi kewajiban
seluruh negara.