Abstract:
Pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan dalam bentuk undangundang
dan peraturan presiden. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
terhadap perjanjian internasional yang berakibat luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang membutuhkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk peraturan presiden.
Apabila dilakukan penafsiran sistematis, penjelasan mengenai kriteria tersebut
lebih lanjut diatur dalam Pasal 10 UUPI yang menentukan bahwa hanya 6 (enam)
jenis-jenis perjanjian internasional yang pengesahannya dilakukan dalam bentuk
undang-undang. Pada praktiknya, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 UUPI
menimbulkan permasalahan karena belum tentu jenis-jenis perjanjian
internasional yang terdapat dalam Pasal 10 UUPI termasuk dalam perjanjian
internasional yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang. Sebaliknya, belum tentu jenis-jenis perjanjian
internasional di luar Pasal 10 UUPI materinya tidak termasuk perjanjian
internasional yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang. Permasalahan tersebut menjadi semakin nyata
dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 yang
menyatakan Pasal 10 UUPI bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 11 ayat
(2) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perjanjian internasional
yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang tidak bisa ditentukan secara limitatif melainkan secara kasuistis
sesuai dengan perkembangan hukum nasional maupun hukum internasional.