Abstract:
Penelitian ini menganalisis mengenai penyadapan yang terdapat di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kemajuan teknologi dan
informasi pada era ini seperti menjadi pedang bermata dua, karena selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban
manusia, sekaligus menjadi sarana efektif melakukan perbuatan melawan hukum.
Guna mengimbangi kemampuan dari pelaku-pelaku kejahatan, maka aparat penegak hukum pun dituntut untuk memiliki metode lain yang lebih efektif dalam menjalankan fungsi penegakan hukumnya. Maka dari itu, metode penyadapan
untuk kepentingan penegakan hukum pun hadir. Dalam Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Pasal 300 dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 83 Ayat (1) sudah mengakomodasi untuk penegak hukum dapat melakukan penyadapan, namun kedua pasal tersebut memiliki perbedaan definisi mengenai hal yang dimaksud dengan penyadapan. Selanjutnya, terhadap tindak
pidana tertentu yang dapat dilakukan penyadapan di uraiakan dalam Pasal 83 ayat (2) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, salah satu dari tindak
pidana tersebut adalah tindak pidana pemerkosaan sebagai tindak pidana serius.
Pengaturan dalam Pasal 83 Ayat (1) sebagai hukum formil dianggap kurang tepat karena bertentangan dan mempersempit makna yang diatur dalam hukum materiil di Pasal 300 Rancangan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana. Selanjutnya dalam Pasal 83 Ayat (2), tidak menguraikan apa yang dimaksud dengan tindak pidana serius, dan dalam hal penyadapan untuk tindak pidana pemerkosaan sangat tidak
relevan untuk dilakukan penyadapan mengingat untuk tindak pidana pemerkosaan,
adalah tindakan yang tidak di rencanakan karena faktornya adalah dorongan nafsu
seseorang. Oleh karena itu, saran yang diberikan penulis adalah pembuat undangundang harus harmonis dalam merumuskan undang-undang, jangan sampai hukum materiil dan hukum formil bertentangan dan menjelaskan secara rinci apa yang
dimaksud dengan tindak pidana serius.