Abstract:
Hukum Pidana memiliki sebuah asas yang dinamakan Ultimum Remedium dikarenakan beratnya dari sanksi pidana itu sendiri berupa perampasan hak kepada seorang terpidana. Ultimum Remedium atau yang disebut sebagai upaya terakhir apabila tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan. Seringkali dalam menghadapi suatu peristiwa hukum, bahkan seorang penyelidik maupun penyidik sekalipun masih belum bisa membedakan secara jelas antara peristiwa pidana, keperdataan maupun administrasi. Sebaiknya seorang ahli hukum dapat membedakan secara jelas ranah mana terlebih dahulu yang harus ditempuh ketika menghadapi suatu perkara atau peristiwa hukum. Dampak dari bermacam upaya hukum tentu berbeda. Di dalam praktik, bahkan sangat dimungkinkan terjadi kasus hukum pidana yang harus ditentukan terlebih dahulu status keperdataannya. Tentunya di dalam kasus pidana yang terkait hak keperdataan seseorang, tidak dapat dengan sembarang menempuh jalur peradilan pidana tanpa menyelesaikan sengketa keperdataan yang menjadi sumber permasalahan hukum yang timbul. Apabila status keperdataan belum terselesaikan, maka mengakibatkan terdapatnya kerancuan mengenai siapakah pelaku pelanggaran hak (wedderrechtlijk) yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Konsekuensi logis dari penetapan tersangka yang rancu akan mengakibatkan timbulnya risiko yang sangat besar atas penjatuhan sanksi pidana terhadap seseorang yang tidak bersalah, sehingga risiko terjadinya pelanggaran hak asasi manusia pun bisa terjadi. Maka, pemahaman terhadap suatu perkara dan pemilihan upaya hukum, serta unsur atas suatu tindak pidana sangatlah penting untuk dimiliki seorang ahli hukum dalam menegakan hukum positif yang berlaku, terutama di Indonesia, agar tidak terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi melihat dari kerugian yang ditimbulkan dari sanski pidana tersendiri sangatlah berat, memalukan dan merugikan dari berbagai aspek kehidupan seseorang.