Abstract:
Dalam dasar hukum pembentukannya yaitu Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi
Pemberantasan Korupsi dikatakan berkedudukan sebagai lembaga negara
Independen. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang
bersifat independen tersebut turut diperkuat dengan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi atas perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-
39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011. Namun Mahkamah Konstitusi
Pada Tahun 2017 mengeluarkan putusan atas perkara Nomor 36/PUU-XV/2017
yang menyatakan bahwa kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi berada di
dalam ranah lembaga eksekutif. Perbedaan pengaturan kedudukan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam produk hukum yang sama, menyebabkan
kebingungan dalam masyarakat mengenai kedudukan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif
dimana Penulis menggunakan bahan pustaka yang terdiri dari sumber hukum
primer, sekunder dan tersier yang berkaitan dengan kedudukan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor
36/PUU-XV/2017, maka kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia ialah sebagai lembaga negra independen. Hal tersebut
didasarkan oleh sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat,
karakteristik lembaga negara independen, kewenangan yang dimiliki KPK, serta
bedasarkan perbandingan dengan beberapa negara mengenai lembaga antikorupsi.