Abstract:
Budaya gender yang telah diwariskan secara turun-temurun, mencerminkan nilainilai
sosial dan budaya di kalangan masyarakat. Pemisahan gender dalam ruang sudah
dapat terlihat dari arsitektur tradisional Jawa yang mencerminkan budaya patriarki yang
memandang kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Budaya-budaya dan
batasan gender tersebut juga terdapat dalam bentuk arsitektur dan penataan ruang Keraton
(Kaputran dan Keputren).
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan
kualitatif, Mendeskripsikan dengan memaparkan fakta-fakta sesuai dengan data yang ada
di lapangan, Kemudian dilakukan deskripsi, analisis, dan komparasi terhadap bentuk dan
tata ruang keputren dan kaputran dari Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Taman Sari
Sunyaragi yang dikaji berdasarkan teori-teori gender dan arsitektur.
Dalam penelitian ini ingin mencoba mengetahui bagaimana pengaruh-pengaruh
gender dalam arsitektur keraton di Cirebon dan menemukan karakteristik yang tercermin
pada bentuk dan tatanan ruang keputren dan kaputran pada ketiga objek studi.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa gender sebagai suatu
konstruksi sosial yang abstrak, ternyata memiliki cerminan atau wujud dalam ruang
arsitektur secara nyata dan dapat terlihat dari berbagai aspek. domain ruang laki-laki
mengandung nilai primer, maskulin bersifat terbuka, sedangkan domain ruang perempuan
mengandung nilai sekunder, feminin dan bersifat tertutup. Ditemukan juga bahwa tata letak
arsitektur tidak hanya menyampaikan kelas tetapi juga hirarki gender. Penempatan area
perempuan (keputren) selalu berada di sebelah kiri sumbu dan area laki-laki (kaputran)
selalu berada di sebelah kanan Representasi hubungan gender ideal ini dibentuk oleh, dan
dikomunikasikan melalui, pergerakan dalam ruang dan adanya kontrol di dalam ruang.