Abstract:
Industri perhotelan menjadi salah satu tulang punggung yang mendukung
pembangunan sektor pariwisata. Sektor pariwisata yang merupakan salah satu sektor yang
memberikan kontribusi cukup besar dalam perekonomian Indonesia, saling berkaitan erat
dengan industri perhotelan. Di sinilah industri perhotelan berperan penting sebagai tolak
ukur untuk mengetahui seberapa banyak wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah
khususnya Jawa Barat dilihat dari occupancy rate. Menurut Badan Pusat Statistik occupancy
rate Jawa Barat berada pada angka 42,23% pada tahun 2015 dan 53,38% pada tahun 2016.
Balai Pertemuan B sudah berdiri sejak 1879 di Kota Bandung. Balai Pertemuan B
merupakan balai yang terdiri dari 3 departemen yaitu restaurant, club dan hotel. Namun
dalam penyampaian laporan keuangan tidak terpisah antara satu departemen dengan
departemen yang lain.
Hotel C yang merupakan salah satu dari departemen di Balai Pertemuan B,
mengalami penurunan tingkat hunian atau occupancy rate menjadi 39,71%. Penurunan ini
berdampak pada penurunan marjin laba kotor dari 39% di tahun 2013 menjadi 25% di tahun
2016. Hal ini mengakibatkan semakin menipisnya laba yang diperoleh oleh Hotel C yang
berdampak pada semakin mengecilnya kontribusi pendapatan Hotel C dibandingkan dengan
kedua departemen yang lain.
Perhitungan marjin laba kotor untuk memperoleh occupancy rate pada tingkat
breakevent point dengan menggunakan metode weighted average untuk meramalkan beban
Hotel C. Skenario 1 diberi pembobotan dengan proporsi 15% untuk tahun 2013, 20% untuk
tahun 2014, 30% untuk tahun 2015 dan 35% untuk tahun 2016. Sedangkan skenario 2 diberi
pembobotan dengan proporsi 20% untuk tahun 2013, 25 % untuk tahun 2014, 25% untuk
tahun 2015 dan 30% untuk tahun 2016.
Occupancy rate Hotel C pada tahun 2016 sudah mencapai 39,71%, sehingga
perhitungan marjin laba kotor untuk kedua skenario dimulai dari tingkat di bawah 39,71%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa occupancy rate pada tingkat breakevent point
adalah berada pada 26%. Dengan demikian ketika occupancy rate berada di bawah 26%
maka Hotel C mengalami kerugian.
Tidak adanya penyampaian laporan keuangan yang terpisah antara satu departemen
dengan departemen yang lain menyebabkan perusahaan tidak dapat mengetahui secara pasti
kondisi keuangan dari masing-masing departemen. Dengan demikian, perlu dibuat laporan
keuangan secara terpisah yang telah dibuatkan oleh penulis. Selain itu, Hotel C berada
dalam kondisi yang kurang baik di mana hal ini dapat terlihat dari penurunan marjin laba
kotor selama 4 tahun terakhir yaitu dari tahun 2013 sampai 2016. Penurunan marjin laba
kotor disebabkan karena penurunan occupancy rate yang sudah menyentuh tingkat 39,71%
pada tahun 2016. Tingkat hunian hotel untuk Jawa Barat, berdasarkan data Badan Pusat
Statistik untuk tahun 2015 sebesar 42,23% dan tahun 2016 adalah sebesar 53.38%. Dengan
demikian occupancy rate Hotel C sudah berada di bawah occupancy rate Hotel secara
umum di Jawa Barat. Breakevent point Hotel C - kondisi di mana perusahaan tidak
mendapatkan keuntungan maupun kerugian - ketika occupancy rate pada level 26%. Hasil
penelitian ini menunjukkan ketika occupancy rate berada di bawah 26% maka mengalami
kerugian. Kerugian sebesar Rp.10,690,699 untuk occupancy rate 25% pada skenario 1 dan
kerugian sebesar Rp.8,333,260 pada occupancy rate 25% untuk skenario 2.