Abstract:
Perdagangan internasional merupakan suatu fenomena yang semakin berkembang secara signifikan. Debitor yang terlibat dalam perdagangan internasional, dapat memiliki kreditor-kreditor dan aset-aset yang terletak di berbagai negara. Apabila debitor menjadi insolven dan kemudian dinyatakan pailit, maka hal itu dapat berimpikasi terhadap para kreditor serta aset debitor di berbagai negara. Hal mana dikarenakan, para kreditor cenderung akan berusaha memperoleh pelunasan piutangnya dari seluruh aset yang dimiliki debitor. Persoalan ini dikenal sebagai persoalan kepailitan transnasional. Undang-Undang Nomor No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kurang komprehensif dalam mengatur dan menyelesaikan perkara kepailitan yang mengandung aspek-aspek transnasional. Indonesia juga tidak dapat mengakui dan melaksanakan putusan pailit asing (lihat Pasal 436 Reglement op de Rechtvordering), sehingga putusan tersebut perlu direlitigasi di Indonesia. Banyak ahli berpendapat bahwa peraturan yang demikian tidak cukup efisien untuk menyelesaikan perkara kepailitan transnasional. Terlebih, perkara kepailitan tersebut seringkali melibatkan debitor yang sedang berada dalam kesulitan keuangan dan juga para kreditor yang menghendaki stabilitas pengembalian arus kas. Dengan demikian, Indonesia dimungkinkan untuk mengadopsi Model Law, sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara lain. Penelitian ini mengkaji berbagai keuntungan dan penyesuaian yang perlu diperhatikan bila Indonesia mengadopsi Model Law. Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, penulis berpendapat bahwa Indonesia perlu mengadopsi Model Law dengan didasarkan pada kepentingan lokal yang ada. Untuk jangka panjang, penulis juga menyarankan agar Indonesia terikat pada perjanjian internasional yang mengatur mengenai kepailitan transnasional, mengingat terdapat beberapa persoalan yang perlu diatur dalam level internasional.