dc.description.abstract |
Penolakan terhadap pembangunan Gereja HKBP Maranatha di Cilegon telah menjadi isu
penting yang memerlukan perhatian mendalam terkait hak kebebasan beragama. Sebab,
warga dan tokoh masyarakat secara terang-terangan menolak pendirian rumah ibadah
agama lain di Cilegon yang didukung oleh Pemerintah Daerah Cilegon. Padahal,
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28I ayat
(4) UUD 1945. Terlebih, alasan demi keketertiban umum seringkali dijadikan tameng bagi
pihak berkuasa dan dominan untuk membatasi hak kebebasan beragama, terutama dalam
pendirian rumah ibadah. Dengan demikian, timbul masalah mengenai legitimasi, kriteria,
serta batasan penggunaan asas ketertiban umum untuk membatasi hak kebebasan
beragama. Nyatanya, penolakan dalam kasus ini bertentangan dengan asas ketertiban
umum yang sesungguhnya, sehingga dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Atas masalah ini, HKBP Maranatha perlu mengetahui upaya yang dapat ditempuh dalam
merespon penolakan pendirian gereja. Sebab, nyatanya sampai saat ini polemk pendirian
gereja HKBP Maranatha belum menemukan titik terang. Oleh karena itu, perlu upaya
litigasi dengan melihat hal-hal yang menghambat pendirian gereja, lalu melibatkan
pengadilan yang berwenang agar mendapatkan putusan hakim yang bersifat mengikat
untuk menjamin kepastian hukum dan kepatuhan regulasi. Disamping itu, perlu didukung
oleh upaya non litigasi dengan pendekatan sejarah, sosial, dan budaya yang dianggap
lebih efektif untuk mengakomodasi para pihak dalam menyelesaikan konflik penolakan
pendirian Gereja HKBP Maranatha. |
en_US |