dc.description.abstract |
Demonstrasi menjadi salah satu bentuk kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka
umum sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi Indonesia yaitu dalam Pasal 28
Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Sebagai penegak hukum, polisi memiliki
peran penting untuk menjaga dan memenuhi hak setiap orang untuk berdemonstrasi,
salah satunya melalui kewenangan diskresi kepolisian. Kekerasan fisik yang dilakukan
polisi kepada demonstran berdasarkan kewenangan diskresi menimbulkan berbagai
persoalan. Oleh karena suatu kewenangan diskresi memiliki tingkat subjektivitas yang
tinggi, maka timbul permasalahan seperti bagaimana diskresi kepolisian dalam bertindak
menurut penilaiannya sendiri saat menangani aksi demonstrasi? Mengapa polisi
menggunakan diskresi kepolisian dengan melakukan kekerasan fisik saat demonstrasi?
Bagaimana pertanggungjawaban polisi dalam menggunakan kewenangan diskresinya
untuk melakukan kekerasan fisik terhadap kelompok masyarakat demi kepentingan
umum? Untuk menjawab ketiga permasalahan tersebut digunakan metode penelitian
yuridis sosiologis dengan menggunakan data primer dari hasil wawancara dan data
sekunder dari hasil library research. Hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan
diskresi untuk bertindak berdasarkan penilaiannya sendiri harus dilakukan dalam
keadaan genting dan benar-benar diperlukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Tindakan kekerasan fisik yang dilakukan polisi dilakukan karena demonstran seringkali
tidak menggunakan etika berdemonstrasi dan membahayakan kepentingan umum, tidak
jarang polisi dalam melaksanakan kewenangan diskresinya masih dilandasi emosi
personal kepada demonstran. Selain itu, terdapat pertanggungjawaban polisi secara
internal oleh Propam dan KOMPOLNAS, lalu pertanggungjawaban polisi secara
eksternal dilakukan melalui peradilan pidana. Untuk itu perlu ada standar khusus
penggunaan diskresi kepolisian saat menangani aksi demonstrasi serta sosialisasi kepada
kelompok masyarakat untuk mengindahkan etika berdemonstrasi. |
en_US |