Abstract:
Prosedur pencatatan perkawinan pada PP No.9 Tahun 1975 mengatur bahwa ada beberapa langkah yang harus dipenuhi pasangan yang hendak menikah untuk mencatatkan perkawinannya. Apabila semua proses telah dilakukan maka pegawai pencatat akan menerbitkan Akta Nikah/ Buku Nikah untuk pasangan tersebut. Dalam memenuhi prosedur pencatatan tersebut, seringkali masyarakat menghadapi berbagai kendala sehingga akta nikah/ buku nikah tidak bisa diterbitkan, dari sini juga perkawinan siri dapat terjadi. Pemerintah kemudian mengeluarkan sebuah solusi berupa SPTJM yang diatur dengan Permendagri Nomor 108 tahun 2019 dan Permendagri Nomor 109 Tahun 2019. Masyarakat yang tidak memiliki Akta Nikah/ Buku Nikah dapat menggunakannya untuk memenuhi persyaratan pembuatan dokumen administrasi berupa Kartu Keluarga, yang dimana status perkawinan akan dicantumkan sebagai 'kawin belum tercatat'. Timbulah masalah diman antara PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Permendagri tidak sinkron sehingga penggunaan SPTJM dikhawatirkan dapat mengesampingkan ketentuan prosedur pencatatan perkawinan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975. Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang fokus untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya dengan kata lain mengkaji penerapan norma-norma dalam hukum positif sebagai salah satu cara menyelesaikan permasalahan hukum yang ada di masyarakat. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa ketidaksinkronan antara PP Nomor 9 Tahun 1975 dengan Permendagri terletak pada tujuan sistem hukum dari kedua peraturan tersebut dimana pada PP Nomor 9 Tahun 1975 mengedepankan pencatatan perkawinan sebagai pemenuhan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yaitu untuk suatu perkawinan dapat diakui secara sah oleh negara, sedangkan tujuan sistem hukum Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 adalah untuk mempercepat administrasi kependudukan melalui Kartu Keluarga. Permendagri tidak bisa mengesampingkan ketentuan pada PP Nomor 9 Tahun 1975 karena adanya asas Lex Superior Derogat Legi Inferior. Masyarakat yang tidak dapat mencatatkan perkawinannya harus terlebih dahulu melakukan prosedur pencatatan perkawinan pada PP Nomor 9 Tahun 1975 kemudian baru menggunakan SPTJM.