Abstract:
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kekayaan seni dan budaya yang melengkapi keragaman etnis, ras, dan agama yang dimilikinya. Keberagaman ini merupakan aset nasional yang sangat penting dan memerlukan tindakan pengamanan. Dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), peran penting musik dalam masyarakat Indonesia terlihat jelas, dengan 50,3% pengguna internet aktif terlibat dalam streaming musik. Hal ini menggarisbawahi daya tarik musik yang bersifat universal, melampaui batas-batas sebagai alat komunikatif yang kuat dengan akar sejarah yang tertanam dalam dalam mengekspresikan emosi, memfasilitasi upacara keagamaan, memberikan hiburan, dan membina komunikasi dalam komunitas yang beragam. Meskipun Indonesia memiliki antusiasme yang tinggi terhadap konsumsi musik, kesejahteraan musisi independen di negara ini masih menjadi subyek pengawasan. Penulisan hukum ini mengeksplorasi problema penerimaan royalti bagi musisi independen di DKI Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis-yuridis, penelitian ini mengungkap kompleksitas dalam proses tersebut, dengan menekankan pada isu transparansi dan pengolahan royalti. Meskipun para musisi secara proaktif mendaftar ke Lembaga Manajemen Kolektif untuk mendapatkan royalti, ketidakpuasan masih dirasakan, sehingga menyoroti perlunya peningkatan kesadaran dan transparansi. Tantangannya mencakup preferensi genre, kekuatan pemasaran yang terbatas, dan masalah transparansi dengan Lembaga Manajemen Kolektif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan berharga bagi lembaga-lembaga yang diberi kepercayaan dalam menegakkan UUHC dan melaksanakan peraturan-peraturan lainnya, yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi.