Abstract:
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Kekuasaan Kehakiman di Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian Undang-Undang. Ketika merumuskan suatu Putusan, tidak semua Hakim memiliki pendapat yang bulat atau pandangan yang sama, kerap kali Hakim memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menanggapi suatu perkara. Opini yang berbeda dari Hakim bisa dalam bentuk alasan berbeda (concurring opinion) atau pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Jimly Asshiddiqie, concurring opinion adalah perbedaan dari segi argumentasi hukum yang mendasari amar putusan yang sama, sedangkan dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dari segi substansi yang mempengaruhi amar putusan. Fenomena yang terjadi di Indonesia, terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial di masyarakat dan publik karena terdapat kejanggalan dari sisi perumusannya. Salah satunya adalah concurring opinion dari Hakim Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh yang apabila dibaca argumentasi hukumnya, terdapat kejanggalan apakah pendapat mereka seharusnya masuk ke dalam golongan hakim yang mengabulkan permohonan atau dissenting opinion. Penelitian ini bermaksud untuk melakukan perbandingan dengan Putusan MK terdahulu untuk mengetahui apakah concurring opinion dalam putusan sebelumnya selalu selaras dengan teori mengenai concurring opinion atau tidak. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi, serta literatur. Hasil dari penelitian ini adalah concurring opinion dari Hakim Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh yang tidak dapat digolongkan sebagai hakim mayoritas yang mengabulkan permohonan. Sehingga Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak dapat dikatakan sebagai putusan mayoritas karena tidak terdapat suara mayoritas hakim yang mengabulkan permohonan didalamnya.