dc.description.abstract |
Keberlakuan Hukum Adat di Indonesia tidak dapat dipungkiri keberlakuannya. Hingga saat ini setelah mengalami modernisasi sekalipun Indonesia masih kental mempertahankan adat istiadat wilayahnya masing-masing. Keberlakuan Hukum Adat ini memberikan pengaruh yang cukup besar di Indonesia, khususnya dalam perkawinan yang terjadi. Perkawinan pada dasarnya merupakan hak dari setiap individu, hak demikian dijamin dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam ketentuan Pasal 28 B ayat (1). Termasuk dijamin secara internasional melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dalam ketentuan Pasal 16. Pada hakikatnya, setiap individu memiliki hak untuk melangsungkan perkawinan yang sah dengan orang yang dikehendakinya tanpa adanya paksaan dari siapapun atau pihak manapun.
Namun demikian, dalam praktiknya tidak sedemekian sederhana sehingga hak- hak individual dalam melangsungkan perkawinan yang sah tanpa adanya paksaan dapat terpenuhi. Pada lapisan masyarakat hukum adat di Indonesia, perkawinan yang terjadi masih terbelenggu oleh ketentuan Hukum Adat yang berlaku, tidak sedikit pula pihak masyarakat adat (lazimnya tetua adat), memaksakan perkawinan dalam bentuk perjodohan kepada seseorang yang dianggap menguntungkan maupun dikarenakan oleh alasan lain yang menyebabkan terjadinya perkawinan paksa berdasarkan kaidah aturan Hukum Adat.
Pada umumnya, selain daripada dilatarbelakangi oleh faktor perjodohan, masyarakat adat melakukan perkawinan paksa kepada pihak yang dianggap telah mencederai keberlakuan adat yang telah dianggap suci dan benar untuk mereka. Tidak jarang ditemui dalam lingkup masyarakat adat perkawinan paksa dilakukan dengan alasan pihak yang dipaksa tersebut dianggap telah berbuat zina seperti pulang larut malam dengan lawan jenis hingga hamil di luar nikah. Masyarakat adat akan menganggap perbuatan yang demikian sebagai aib yang pada akhirnya memberikan tekanan bagi keluarga pihak yang dianggap mencederai keberlakuan adat untuk bertanggung jawab dengan melakukan perkawinan paksa atau menerima sanksi diasingkan dari masyakat adat. Orang tua yang cenderung khawatir dan tidak ingin keluarganya dianggap aib dan diasingkan masyarakat adat ini, kemudian memaksa anaknya untuk melangsungkan perkawinan paksa. Maupun adanya kekhawatiran
ii
diterapkannya sanksi adat lain berupa pengenaan denda adat yang seharusnya dibayarkan oleh pihak laki-laki harus dibayarkan oleh pihak perempuan.
Tekanan dari berbagai arah ini juga menimbulkan ketegangan bagi keberlakuan Hukum Adat dengan Hukum Nasional. Pasalnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengklasifikasikan tindakan perkawinan paksa mengatasnamakan budaya sebagai tindak pidana kekerasan seksual, sedangkan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Pidana Baru (“KUHP Baru”) memberikan kedudukan yang sejajar antara Hukum Adat dengan Hukum Nasional. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini akan menunjukan bahwa ketentuan Pasal 2 KUHP Baru tidak dapat serta merta diberlakukan dan orang tua yang diduga sebagai pelaku tindak pidana perkawinan paksa terhadap anaknya dapat tidak dipidana karena unsur-unsur pemidanaan tidak terpenuhi dengan justifikasi atas paksaan dari masyarakat adat. |
en_US |