Abstract:
Pembangunan nasional yang terjadi dalam suatu negara tentu banyak membawa dampak positif seperti penciptaan lapangan pekerjaan baru dan selanjutnya dapat meningkatkan perekonomian. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan pembangunan nasional juga membawa permasalahannya sendiri, khususnya dalam konteks pencemaran dan atau perusakan terhadap lingkungan hidup. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa pencemaran/perusakan lingkungan hidup merupakan tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup adalah timbulnya ancaman terhadap kesehatan, kerugian ekonomi, menurunnya nilai estetika dan terganggunya sistem alami. Dari berbagai dampak negatif tersebut, tentu pihak yang paling dirugikan adalah korban. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana korban khususnya korban dalam tindak pidana lingkungan hidup bisa mendapatkan haknya akibat kerugian yang ditimbulkan oleh pencemaran/perusakan lingkungan hidup. Terdapat beberapa mekanisme yang bisa ditempuh oleh korban di dalam penelitian ini antara lain: (1) Ganti Rugi melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, (2) Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian berdasarkan Pasal 98-101 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan (3) Permohonan Restitusi melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Hasil penelitian menunjukan bahwa, masih terdapat hambatan dan ketidakjelasan hukum dalam setiap mekanisme tersebut, sehingga dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya potensi kegagalan, ketidakpuasan atau penolakan dalam pengajuan restitusi sebagai salah satu bentuk ganti rugi terhadap korban.