Abstract:
Salah satu wujud identitas bersama masyarakat Indonesia dituangkan ke dalam bentuk arsitektur
Nusantara. Namun, kuatnya arus globalisasi membuat dewasa ini banyak karya-karya arsitektur dalam
negara lebih mengutamakan tampilan modern dan mengesampingkan pentingnya representasi identitas
setempat. Melalui pendekatan akulturasi arsitektur, identitas setempat seharusnya dapat tetap terjaga sambil
mengikuti perkembangan gaya arsitektur juga. Pada bangunan dengan fungsi komersial, khususnya hotel,
desain arsitektur memiliki peran penting dalam keberhasilan dan profitabilitasnya. Desain arsitektur hotel
yang optimal dapat mencerminkan keunikan kawasan dan budaya lokal dengan mengambil inspirasi dari
lingkungan sekitar, konteks sejarah dan tradisi budaya setempat. Hotel Rumah Luwih adalah salah satu
contoh bangunan yang menunjukkan bagaimana akulturasi dapat mempengaruhi arsitektur. Desain hotel
menggabungkan gaya arsitektur tradisional Bali, mengambil inspirasi khusus dari bangunan Istana Air
Taman Ujung, salah satu bangunan bersejarah di Bali yang dirancang dengan memadukan arsitektur
tradisional Bali, kolonial Belanda, dan Cina.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti akulturasi arsitektur pada Rumah Luwih dan dominasi antara
dua langgam arsitektur yang digunakan pada desain bangunan, yaitu arsitektur tradisional Bali dan
arsitektur kolonial Belanda.
Proses pengkajian terhadap objek studi menggunakan Teori Akulturasi dalam Arsitektur sebagai
teori utama, dengan menggunakan karakteristik langgam arsitektur tradisional Bali dan langgam arsitektur
kolonial Belanda sebagai variabel. Teori Archetypes yang mereferensi teori Archetypes Thiis-Evensen dan
teori Ordering Principle oleh D.K. Ching juga digunakan sebagai teori pendukung.Metode penelitian yang
digunakan adalah metode kualitatif, analisis deskriptif dan interpretatif.
Dari penelitian, dapat disimpulkan bahwa desain bangunan Rumah Luwih dilihat dari lingkup
bentuk, ornamen, dan ruang adalah hasil dari perpaduan langgam arsitektur tradisional Bali dan arsitektur
kolonial Belanda. Akulturasi yang terjadi pada objek studi cenderung mengadopsi langgam arsitektur
kolonial Belanda yang lebih mendominasi dibanding langgam arsitektur tradisional Bali. Hal ini sesuai
dengan konsep desain yang diangkat oleh arsitek yaitu untuk menghadirkan ‘luxury colonial resort’ seakanakan
rumah megah milik keluarga besar.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan lebih luas kepada masyarakat umum dan
segala pihak yang terlibat dalam industri arsitektur agar lebih mengenal dan mengapresiasi arsitektur lokal
Indonesia sehingga memahami relevansinya bahkan di zaman modern. Khusus untuk arsitek dan pihak
lainnya yang berada dalam industri terkait, diharapkan dapat memahami bagaimana akulturasi dapat
digunakan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan identitas setempat di masa modern.