Abstract:
Jalan Ahmad Yani di Kabupaten Garut, Jawa Barat, merupakan pusat komersial dan
gerbang perkotaan Garut yang memiliki peran penting. Namun, perkembangan bangunan
baru di sepanjang jalan tersebut telah mengabaikan tatanan bangunan yang ada,
mengakibatkan penampilan koridor yang kacau dan tidak seragam. Identitas sejarah
kawasan ini tergerus dan karakter spasialnya yang dibentuk oleh tatanan bangunan menjadi
semrawut. Terlepas dari statusnya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata, penataan ruang
yang tidak terarah ini tidak mencerminkan potensinya sebagai koridor historis untuk tujuan
wisata.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tata bangunan pada koridor Jalan
Ahmad Yani - Garut sebagai sebuah koridor komersial dan menganalisis karakter spasial
yang dibentuk oleh tatanan bangunan di dalamnya. Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif deskriptif, yang melibatkan deskripsi tatanan bangunan koridor
berdasarkan teori General Attribute, serta penilaian terhadap karakter ruang koridor yang
dibentuk oleh massa bangunan dengan menggunakan teori karakter spasial oleh Matthew
Carmona. Data dikumpulkan melalui observasi lapangan dan peninjauan citra satelit, yang
kemudian disajikan dalam bentuk pemetaan bangunan pada koridor Jalan Ahmad Yani
secara 2 dimensi dan 3 dimensi. Teknik analisis dilakukan dengan mengidentifikasi tatanan
fisik bangunan koridor, seperti kemunduran dari jalan, jarak bebas bangunan, penyusun
massa, dan ketinggian bangunan, serta mengevaluasi karakter spasial koridor berdasarkan
rasio dimensi yang terbentuk oleh tatanan bangunan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan yang spontan dan tidak
terencana telah menyebabkan karakter tata bangunan pada koridor Jalan Ahmad Yani -
Garut menjadi semrawut. Koridor jalan yang memiliki nilai sejarah awalnya memiliki pola
tatanan berupa deretan pertokoan Tionghoa dengan denah utama persegi dan tanpa
kemunduran dari jalan, yang saling berdekatan, lebar muka antara 6,5m - 10,5m, dengan
kedalaman bangunan antara 12,5m - 32,5m dari jalan, dan memiliki tinggi bangunan 1 - 2
lantai. Bangunan-bangunan baru yang tidak mengikuti pola tatanan awal koridor, dengan
penggabungan persil dan ukuran massa yang lebih besar, telah mengganggu harmoni dan
kesinambungan antara bangunan lama dan baru. Ketidakseimbangan, ketidakteraturan, dan
ketidakharmoisan ruang koridor terlihat dari tinggi bangunan yang tidak konsisten,
pelanggaran pola tatanan persil dan setback, serta perbedaan tinggi antara sisi A dan sisi B
koridor. Hal ini mengurangi kualitas ruang koridor dan pengalaman pengguna yang
melintasinya.